Road to Sabu




Tak banyak orang mengenal Kabupaten Sabu-Raijua, kabupaten yang berdiri sejak 2008 lalu ini ternyata menyimpan pesona yang sangat cantik. Kabupaten ini hanya terdiri dari dua pulau, Pulau Sabu dan Pulau Raijua. Ketika melihatnya di Google Earth saya membayangkan Pulau ini seperti Pulau Tomia di kampung halaman saya yang bisa kami kelilingi hanya 2 jam atau kurang. Mayoritas masyarakatnya adalah non muslim namun tak usah khawatir teman saya yang berasal dari Ntt selalu bilang kalau tidak ada tempat paling toleran selain di Ntt.

Pualu sabu bisa di akses dengan transportasi pesawat, kapal laut dan speed boat. Untuk pesawat yang ada hanya Susi Air. Dan untuk transportasi laut saya bereuni dengan kapal Fungka dan Cantika Express. Kapal ini tidak asing bagi masyrakat di Sulawesi Tenggara, khususnya fungka permata sembilan dan sepuluh. Para perantau-perantau dari kampung saya dahulu selalu memakai jasa fungka permata ketika hendak merantau ke Taliabu untuk memanen cengkeh. Saya membeli tiket kapal Fungka permata sepuluh, tiketnya dibagi menjadi dua kelas, kelas Ekonomi dan kelas Vip. Untuk harga Rp. 250.000 untuk kelas ekonomi dan kalau tidak keliru Rp. 275.000 untuk kelas vip. kapal biasanya berangkat jam 21:00 dan tiba di pelabuhan Sabu pada 06:00.


Pulau Sabu terletak di antara pulau Rote dan pulau Sumba. Meskipun tidak seterkenal pulau Sumba, saya menyarankan anda jika traveling ke Ntt kunjungilah pulau Sabu. Di kapal sebelum kehilangan jaringan internet saya coba mencari destinasi populer di pulau Sabu. Dan betul saja pesona yang sangat cantik itu sangat menggoda. Ibarat pemuda yang melihat perempuan idamanya, saya jatuh cinta pada pendangan pertama. tempat itu adalah Kalebba Madja, saat pertama melihatnya saya tidak percaya ini ada di Indonesia, saya membayangkan Grand Canyon yang masul dalam list tempat yang ingin saya kunjungi.


Namun di Sabu bukan hanya itu saja. Banyak tempat-tempat menarik yang menjadi pilihan. Apalgi saya mendengar kalau adat istiadat masih di pertahankan. Ada dua kecamatan di pulau Sabu, Seba Mesara dan Bolow Seba. Beruntung kali ini saya melalui semua jalan-jalan itu sehingga tidak banyak tempat yang luput dari pandangan. Laut di Sabu katanya terkenal ganas apalagi pada musim angin barat, namun beruntungnya saya berkunjung di bulan Oktober dan laut sepertinya sangat bersahabat. Saya memanfaatkanya untuk menyimpan tenaga, kapal ini tergolong rapi dan bersih walaupun sepanjang malam suara orang berkaraoke ria di dek dua tidak pernah berhenti, ya anggap saja lagu pengantar tidur.

Lagu-lagu bergema menembus malam, saya mendengar diluar orang-orang silih berganti menyanyikan lagu tanpa kenal lelah. Ya mungkin saja mereka sedang dalam pengaruh moke khas Sabu, konon perihal moke di pulau Sabu adalah juaranya. Hingga akhirnya perlahan-lahan suara mulai memudar, saya terlelap. Kapal melaju mulus, ini adalah perjalanan yang sangat nyaman, ketika hendak berlayar dan cuaca bersahabat maka tidak ada sumpah serapah, tidak ada alasan untuk itu, yang ada hanya kau akan sangat menikmatinya.

***

Saya tersadar, hening. Saya tidak ingat lagu apa yag terakhir mereka nyanyikan. Saya menoleh jam di HP masih sangat pagi jam 05:00. Jam seperi ini adalah ujian, katanya para setan silih berganti menggoda manusia untuk tidak beranjak dari zona nyamannya. Namun sepertinya para setan harus mengaku kalah pagi ini, saya tiba-tiba membayangkan sunrise, tidak lengkap rasanya dilautan nan luas seperti ini tidak menyaksikan kehadiran matahari pagi. Ya hitung-hitung melepas rindu, saya sudah lama tidak melihat sunrise, dan dilaut seperti ini tidak ada yang menghalangi.

Saya melepas selimut. Oh ya saya membeli tiket Vip, untuk yang berangkat membawa peralatan-peralatan penting dan takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, saya sangat menyarankan untuk membeli tiket Vip. Harganya tidak jauh berbeda dengan tiket ekonimi dan terlebih adalah keselamatan dan kenyamanan dalam pelayaran. Kamar Vip lumayan besar, ada dua ranjang lengkap dan Ac, minus kamar mandi. Kamar mandinya ada diluar, ya taulah kamar mandi umum.

Saya membuka pintu kamar, dan ya laut masih gelap rupanya, orang-orang masih tidur dikasurnya masing-masing dan beberapa korban dari moke tidur berjejeran di lantai dek dua tempat mereka karaoke ria tadi malam. Mungkin limabelas menit lagi. Ah saya mengira-ngira saja, toh saya juga hanya ingin melihat dan mengabadikanya sebagai bonus dalam perjalanan kali ini. untuk melihat sunrise sebenarnya kita bertaruh pada undian nasip, hehe, biasanya kalau bukan mendung atau hujan ada-ada saja awan-awan yang menghalangi diatas sana, kadang-kadang kita menjadi manusia yang sangat sensitive sampai-sampai menyalahkan langit.

Sejam lagi kami akan tiba di pulau sabu. Benar saja saya tidak beruntung kali ini, setelah mengecek arah timur dengan presisi ternyata ada beberapa gumpalan awan yang menghalanginya. Saya sampai-sampai berharap salah arah dan berpindah ke beberapa sisi kapal untuk memastikanya lagi. Dan ya benar saja matahari sepertinya malu menampakan pesonanya. Tidak ada sumpah serapah walaupun sudah menunggunya beberpa menit, cukuplah beberapa bias cahaya jingga dilangit yang menjadi obat penenang pagi ini sambil melihat siluet pulau Sabu.



Perlahan pulaunya semakin jelas. Pulau yang cantik. Garis pantainya masih alami, dibanding pantai-pantai lain yang di beton karna tidak sanggup melawan abrasi. Garis pantainya lumayan panjang, sesuai seperti apa yang saya harapkan pada pulau-pulau di Ntt. Dan tidak heran pulau ini dijuluki dengan pulau sejuta lontara, di sepanjang mata memandang pohon lontara memenuhi pulau. Sepertinya pohon ini menjadi anugerah tersendiri untuk pulau sabu selain kalebba Madja beberpa Gowa dan pantai yang indah di pandang dan masih alami.

Dan yahh, saya baru melihat sampulnya dan saya percaya masih banyak kejutan yang ia sebunyikan.
Saya menceritakanya nanti…

Muh. Fajri Salam.



Selain Indah Ntt Juga Surga Untuk Para Dewa Mabuk



Saya terbangun di sore hari, rasanya segar, tubuh serasa seperti batrei yang telah di charger. Katanya kita butuh tidur delapan jam sehari, namun sudah beberapa tahun ini saya tidak punya kiblat kesehatan. Saya bisa saja tidur lebih dari delapan jam atau bahkan kurang dari empat jam dalam sehari semalam. Aturan seperti itu saya abaikan selama perasaan saya baik-baik saja. Mungkin di tahun-tahun berikutnya saya harus mengatur pola hidup sehat.

Agenda hari ini tidak begitu sibuk. Saya beristirahat, dan team tidak mempermasalahkanya. Ini adalah hari-hari perkenalan dengan kota Kupang. Ternyata ini adalah kota yang lumayan luas, dan sebagai ibu kota Nusa Tenggara Timur, perkembanganya sangat pesat walaupun  mungkin jika di bandingkan dengan kota Makassar kupang masih kalah ramai. Sore ini saya coba berkeliling di kota kupang, ya walau tidak semua tempat saya bisa melihat ke unikan di kota ini.
Saya mencari kebutuhan-kebutuhan yang saya butuhkan sembari berkeliling di beberpa jalan. Saya berhenti di sebuah toko yang lumayan besar, saya berencana membeli batrei di toko itu, dan di toko itu ternyata memjual berbagai barang selain elektronik dan otomotif, namun yang lebih mencengangkan adalah minuman-minuman keras yang berjejer rapi di rak persisi di belakang kasir, mulai dari Wine, Vodka dan minuman-minuman keras lain yang tampaknya berasal dari luar negeri.

Saya sedikit bercanda dengan penjualnya dengan memujinya kalau ia memiliki koleksi-koleksi yang sangat bagus. Ia tersenyum dan bilang ini asli bukan pajangan dan semua ini legal. Masyarakat di kota kupang memang mayoritas non muslim, tapi saya rasa untuk urusan minuman-minuman keras orang timur memang menyukainya terlepas itu muslim atau non muslim. Sebagai contoh di kampung saya saja yang mayoritas muslim orang tidak malu  duduk melingkar di gazebo atau para-para sambil minum-minuman keras, orang-orang menyebutnya Sopi, ya it’s like no Sopi no Party kalau di acara-acara joget. Mungkin selama mereka tidak bertidak anarkis itu menjadi wajar-wajar saja. Dan dibeberpa tempat yang saya kunjungi di Ntt minuman keras lokal sering kali di jajakan seperti minuman kemasan biasa, mereka menyebutnya “moke”.



Di sebuah kapal ferry ketika kami transit di pelabuhan Aimere ada kejadian yang menurut saya lucu, ini pengalaman yang aneh. Sebenarnya ini tempat yang cantik, Landskap Aimere begitu cantik, latar gunung di kejauhan, pantainya masih alami dan pulau flores yang sangat indah. Namun sekali lagi kultur adalah daya tarik yang menyenangkan untuk dilihat. Sebelum kami berlabuh di Aimere seorang teman yang kebetulan asli Ntt memberitahuku kalau ia ingin membeli “moke” di pelabuhan, saya lalu bertanya memangnya minuman keras tidak di larang di jual bebas di pelabuhan, ia lalu tersenyum dan bilang kamu pasti akan terkejut jika sampai disana.



Benar saja tidak lama setelah penumpang tujuan Aimere turun, para penjual mulai naik keatas kapal, jualanya sewajarnya yang kita lihat pada pedagang-pedagang asongan di kapal-kapal, ada yang menjual nasi kuning, air mineral, buah-buahan, rokok dan tikar. Namun yang tidak wajar dan membuat terheran-heran ketika saya melihat beberapa ibu-ibu yang menjual Pisau dan Moke (Minuman keras khas NTT, di beberapa daerah di sebut dengan sopi, arak atau cap tikus). Saya lalu berbisik ke teman, gila ini memangnya tida dilarang..? dia menjawab santai, di depan pintu penyebrangan ada beberapa polisi dan tentara yang berjaga, dan di depan ruang tunggu adalah pasar rakyat, disana lebih banyak lagi yang jual “moke”, moke disini memang terkenal, katanya moke nomor satu di Ntt dan ini tidak dilarang.

Ia lalu berdiri dan memanggil ibu yang menjual “moke” dan pisau tadi. Setelah ibunya datang ia menanyakan harga dan kualitas “moke” yang dijualnya. Ibu itu pun menjawab dengan logat Ntt yang khas, ade satu botol sepulu ribu, ini “moke” asli nomor satu, kalau ade sonde percaya tes sandiri sa, ade bisa minum atau bakar, atau minum baru bakar di mulut juga bisa, sambl tertawa terbahak-bahak, Sontak kamipun ikut tertawa.



Konon katanya yang ahli membuat moke nomor satu atau yang terbaiklah di Ntt adalah orang-orang dari pulau Sabu Raijua, disana memang terkenal dengan pulau sejuta lontara, buah dari pohon lontara menjadi bahan baku “moke”. Saking melimpahnya, buahnya bukan hanya dijadikan minuman keras namun di buat menjadi gula cair. Pulau Sabu menjadi pulau pertama yang saya kunjungi di Ntt, tidak banyak yang mengenalnya, namun menurut saya pulau ini salah satu yang terbaik yang pernah saya kunjungi. Saya akan menceritakanya nanti..


Muh. Fajri Salam



On My Way to Kupang.!



Hari itu, setelah beberapa hari yang membosankan begitu saja berlalu, akhirnya tiket penerbangan menuju Eltari Kupang saya kantongi. Saya di tugaskan disana untuk beberapa bulan survey jalan nasional Nusa Tenggara Timur. Saya sengaja mengambil pekerjaan ini, selain memang sedang membutuhkan pekerjaan, NTT menjadi magnet tersendiri. NTT akhir-akhir ini menjadi wisata prioritas di Bumi Ibu Pertiwi, pesonanya mulai mendunia, bahkan pribumipun bermimpi ingin menyambanginya.

Traveling atau megunjungi tempat-tempat baru sudah menjadi angan-angan saya sejak dahulu, banyak tempat saya masukan dalam list, mengunjungi tempat baru setiap tahunnya menjadi prioritas besar dalam resolusi ketika tahun berganti. Ketika menyambangi tempat baru sejujurnya saya tidak terlalu tertarik pada kegiatan-kegiatan mainstream seperti ke laut lalu menyelam, ke gunung lalu mendakinya atau ketempat-tempat populer, itu semua prioritas nomor dua, jika mampu melakukannya itu menjadi bonus dalam perjalanan. Saya lebih tertarik pada kultur, kehidupan dan peradaban masyarakan dari masa-kemasa, melihat perubahan atau masyarakat yang masih menjaga kulturnya menjadi sesuatu yang paling menyenangkan.

Matahari baru bersiap beranjak dari peraduanya, penerbangan menuju timur Indonesia selalu seperti ini. tiket tertera jam 4 subuh, beruntunglah di kota dengan kehidupan yang sudah moderen ini berangkat jam berapapun tidak menjadi masalah. Pagi itu saya memesan jasa Taxi online, dan tidak begitu lama menunggu pengemudinya sudah menjemput, wajar saja jalan terasa luas di jam-jam seperti ini. di dalam mobil, seperti biasanya untuk menghilangkan rasa bosan saya membuka percakapan dengan pengemudi. Menurut saya selalu ada cerita menarik dari setiap orang, dan benar saja, kami menceritakan banyak hal, mulai dari penumpang-penumpang aneh di jam-jam tidur masyarakat normal, hingga ia pun bisa menebak kalau saya pasti akan ke timur Negeri ini.

Bandara Sultan Hasanuddin terasa sepi di jam-jam seperti ini, di sekeliling orang – orang memecah keheningan dengan menyeruput kopi dan mengisap beberapa batang rokok. Beberapa orang terlentang terlelap di kursi-kursi tidak sanggup melawan rotasi bumi, ini memang jam-jam kritis untuk manusia normal. Saya langsung melakukan chek in dan membagasikan barang bawaan, hal-hal seperti ini selalu berkesan, selalu ada kata terbesik di dalam hati “akhirnya”.

Setelahnya saya mulai terbawa ke dalam lamunan, seperti apa Kota Kupang, bagaimana orang-orang disana, bagaimana makanannya, bagaimana cuacanya. Kota yang begitu asing, padahal kita sama-sama terlahir dari rahim Ibu Pertiwi. Orang – orangnya, saya mulai memikirkan orang-orang timur yang tergila-gila dengan musik, yang suaranya merdu dan beberapa tingkah kocak. Orang timur juga sedikit kasar, namun itu tidak begitu menganggu, kita masih sama-sama orang timur di dalam hati saya mencari pembelaan.

Akhirnya saya masuk juga kedalam pesawat, ini akhirnya yang kedua yang terbesik didalam hati. Saya duduk di kursi paling depan, ini pengalaman pertama duduk di paling depan, berhadapan dengan Pramugari dan pintu darurat. Saya berpikir jika terjadi situasi emergency mungkin saya hanya akan menyelamatkan Pramugarinya, mungkin itu akan menjadi kisah yang menarik ketimbang tidak ada sama sekali yang selamat. Sesekali dia menangkap mataku yang menatapnya, dia mungkin sudah mulai curiga dengan apa yang saya pikirkan atau mungkin dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan. Setelahnya saya mulai tertidur dan melupakan rencana penyelamatan yang tidak mungkin terjadi itu, saya berharap tidak ada kisah yang menyenangkan di balik bencana.

Setelah dua jam berlalu kami mendarat mulus di bandara Eltari, saya melirik keluar jendela, saya penasaran seperti apa bandara International Eltari. Bandara ini ternyata masih dalam proses pembangunan baik gedung dan landasan, suara gurindam lebih ramai daripada suara-suara manusia-manusia yang beraktivitas disana. Mungkin setelah dua tahun kemudian saya mengunjunginya lagi bandara ini akan menjadi salah satu bandara terbaik di negeri ini. Beberapa turis juga terlihat menunggu bagasi, beberapa orang turis menenteng peralatan surfingnya dan ya pada akhinya saya menginjakan kaki di kota kupang. Kota kupang adalah basecamp kami, setelahnya kami akan ke banyak tempat di NTT, di Bandara Eltari saya sudah sedikit mendapat gambaran seperti apa orang-orang yang akan saya temui nantinya.

Setelah menunggu beberapa bagasi, saya di jemput Ibu Lia, seorang ibu yang baik dan pekerja keras yang bertugas di kantor cabang wilayah Kupang. Ibu lia menjadi beberapa ibu-ibu yang menurut saya baik, sosok ke ibuanya begitu kental, dan selama beberapa bulan di kupang ia menjadi orang paling berjasa membantu kami mengurusi segala sesuatu yang kami butuhkan. Ibu-ibu seperti ini pada akhirnya menjadi refernsi bujang seperti saya dalam memikirkan pasangan hidup kedepanya, hehehe.

Saya di antar ke Kantor cabang dan bertemu beberpa team yang tidak asing, saya pernah bertemu beberapa dari mereka sebelumnya. Kantornya diluar ekspektasi saya, awalnya saya membayangkan orang-orang bepakaian formal dan berwajah garang. Namun ini sungguh luar biasa, ini seperti rumah yang nyaman, dinamika kehidupan berjalan menyenangkan, awalnya saya menjadi orang baru dan kemudian mulai akrab ke semua team. Dalam suasana keragaman seperti ini saya selalu menanamkan toeransi, saya tidak ingin menjadi magnet yang hanya memihak pada satu sisi, saya ingin menjadi kedua tangan yang merangkul.


Pada akhirnya, setelah perjalanan yang luar biasa, sesuatu yang baru sealau luar biasa, saya menyerah juga menjadi manusia tidak normal, saya merebahkan badan di kasur dan berharap bangun dengan cerita yang lebih mendebarkan.

Muh. Fajri Salam  




Popular