Fatwa MUI, Natal dan Ideologi Pancasila



(Foto Mister Google)


***


Desember tinggal menghitung hari. Bulan penghujung disemua tahun Masehi ini selalu penuh dengan perayaan keagamaan maupun seremonial budaya semata. Belum sempat saya mengucapkan selamat datang untuk bulan desember bulan yang saya anggap spesial dari sisi personal. kini saya harus mantap menyampaikan perpisahan dengan bulan, dengan tahun Masehi. Hari ini 25 desember mayoritas  umat Kristen merayakanya dengan sebutan Natal dan beberapa naman lain di belahan bumi bagian barat seperti Christmas dalam istilah Ingris atau Chi-Rho dalam bahasa Yunani dan lebih dikenal sebagai kelahiran Yesus Kristus di Indonesia. Dalam tradisi barat, kita bisa melihat masyarakat barat merayakanya dengan membuat pohon Natal, saling berbagi kartu ucapan atau mengisahkan  Santa Klaus yang membagi hadiah Natal. namun pagi ini saya melihat perayaan yang kontras dikawasan industry pengolahan Nikel. Selepas merayakan hari lahir Yesus di gereja, para pekerja ini langsung berganti pakaian rapinya dengan pakaian kerja. Mungkin saja sandangan Negara buruh tidak mentolerir hari suci yang ditetapkan oleh gereja-gereja Kristen.

Selalu saja muncul beragam pendapat tentang perayaan hari Natal ini, khususnya di Negara Indonesia yang dikenal dengan toleransi agamanya. Negara yang damai berpendudukan umat muslim mayoritas. Dan Natal adalah perayaan yang mengundang kontroversi dalam isu SARA. Tahun ini fatwa MUI memperbolehkan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen Indonesia namun tidak memperbolehkan menggunakan atribut-atribut Natal. Jelas tidak semua kalangan menerima akan fatwa tersebut mengingat Islam bukan hanya milik MUI saja. Dalam beberapa tafsir menyatakan mengucapkan selamat Natal sama saja dengan menjerumuskan diri kedalam golongan suatu kaum yang saya maksud adalah sandangan “Kafir”. Sebagai seorang umat pasti amat terluka menerima sandangan tersebut. 

-  Pendapat Para Ulama

Pendapat Ulama-ulama begitu beragam mulai dari yang pro dan ada yang kontra. Dahulu kita mengenal Ulama Besar yang dikenal dengan Buya Hamka, kala itu beliau memundurkan diri sebagai ketua MUI akibat dari fatwanya terhadap Natal Bersama. Ia dengan tegas melarang umat muslim atas dasar Aqidah, yakni umat dengan merayakan Natal bersama. Hakikat Natal adalah ibadah. para umat Kristen berkumpul di gereja pada pagi hari mendengarkan khotba pendeta sebagai peringatan hari lahir Yesus. Buya Hamka yang merupakan panutan mengatakan  “si orang Islam diharuskan dengan khusyu, bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang, sedangkan mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi melainkan penjahat”. Sejalan dengan itu saya beranggapan Ibadah adalah tiang agama yang tidak mesti di satukan satu sama lain, kita punya fondasi yang berbeda perihal ibadah.

Lalu KH. Abdurrahman Wahid yang juga Merupakan Ulama besar, Mantan Presiden RI dan MUI. Beliau menjadi panutan umat muslim dengan kerendahan hatinya dan juga toleransinya antar umat beragama. Beliau lebih dikenal dengan sapaan Gus Dur. Beliau memandang toleransi sebagai satu kesatuan yang harus ditegakkan di negara NKRI melihat keberagaman Agama di Bumi Nusantara ini. Toleransi jelas dikedepankan mengingat ideology bangsa adalah Pancasila yang mengikat dan merangkul segala keberagaman tersebut. Gus Dur pernah berkata “kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati, yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukan hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain”. beliau melihat ini dalam ranah ideology Negara, dalam ranah kesatuan NKRI yang mesti tetap utuh dalam segala keberagaman. Tentu tidak mudah menjadi utuh dalam artian yang hakiki.

Professor Muhammad Quraish Shihab  juga pernah membahas perihal pandangan muslim tentang perayaan Natal dalam program Tafsir Al Misbah Di Metro Tv Ramadhan 1435 Hijriah episode Surah Maryam Ayat 30:38. Perihal ucapan beliau menanggapi bahwasanya persoalan ini hanya terjadi pada Negara Indonesia saja. Di negara-negara seperti mesir, suriah para Ulama-Ulama besarnya mengucapkan ucapan selamat Natal kepada pendeta atau masyarakat kristenya adalah hal yang wajar sebagai bentuk keakraban sesama umat beragama.  Lalau Quraish Shihab yang merupakan mantan Mentri Agama dan juga Ulama besar dengan buku-buku karya tafsiran Alqurnya berpendapat merupakan hal yang wajar mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen selama itu hanya sebatas keakraban umat beragama. kita mengucapkan selamat Natal bukan berarti ikut meyakini keberadaan Yesus Kristus sebagai Tuhan. Kita mengucapkan selamat Natal dengan keyakinan agama Islam bahwa Tuhan kita adalah Allah SWT dan Muhammad SAW adalah Rasul dan juga tauladan Umat Islam. Mengucapkan selamat Natal adalah sekedar basa-basi belaka.

Dari tiga pendapat ulama diatas kita menelaah sebijaknya apa yang perlu kita lakukan sebagai uamat Islam yang taat. Perihal Natal yang selalu memunculkan polemik merupakan fenomena yang wajar dinegara yang toleran dan meiliki banyak suku dan agama. Natal adalah ajaran Kristen atau juga merupakan seremonial belaka yang pada mulanya tidak ada perintah khusus merayakan Natal pada kitab perjanjian baru. Umat Kristen lebih meyakini perayaan hari kelahiran pada upacara kematian seperti upacara kematian di Tanah Toraja.  Sebagai umat Islam tentu kita memandang lebih pada  atribut  ciri khas meskipun topi santa Klaus dan pohon Natal merupakan budaya yang tidak ditetapkan dalam ajaran agama Kristen sesungguhnya.

Buya hamka, Gus Dur dan Quraish shihab merupakan tauladan yang tafsiranya selalu dianggap lebih. Terlebih pada buya hamka yang saya kagumi. Beliau lebih memandang kepada akidah umat Islam di Indonesia yang telah banyak intervensi ajaran seperti sekulerisme atau singkretisme, liberalisme, kristenisasi, bahkan komunisme-atheis, dengan tegas dan konsisten demi kepentingan umat muslim beliau meyakinkan kita dengan mengharamkan hal-hal yang bisa merusak akidah seperti budaya ucapan selamat Natal. Negara kesatuan dengan ideologi pancasila. Keberagaman agama membuat kita harus bertindak pluralisme untuk ketentraman umat beragama. Kita tentu sudah kenyang dengan sejarah kelam perang antar agama dibumi nusantara. Pendapat dari Gus Dur dan Qurais Shihab pada dasarnya menyiratkan pesan yang sama pada kententraman umat beragama di Negara kita tercinta

Perihal Fatwa MUI dan hari kelahiran yesus Kristus, kita harus saling menghargai satu sama lain.

Muh. Fajri Salam
Morowali 25-12-2017


Candu juga Spiritualisme



Traveling Part 5
Danau Tanralili

landscape danau Tanralili


Garis cakrawala membatasi lautan dengan jingga awan diselimuti  biru langit yang mulai memudar. Lautan siap melahap habis keperkasaan matahari sore itu. Cahaya yang kian meredup dan tinggalah diperistirahatan diperut ibu pertiwi bagaikan didalam rahim. Nampak sekian pasang mata menyaksikan menjadi saksi hidup hingga menjadi pengagum setia senja. Senja adalah sajak kedamaian.

Juni, pertengahan tahun. Seminggu lagi Ramadhan menjumpai. Ramadhan 1438 H tahun lalu. Mesjid-mesjid mulai sesak dengan pengajian, pasar-pasar dikota daeng mulai ramai dikunjungi para ibu-ibu rumah tangga, lengkap dengan keluarga kecilnya masing-masing. Ramadhan bukan hanya sekedar spiritualisme bahkan sampai merambat keharga sembako yang membumbung tinggi. Entahlah mungkin saja kapitalisme tidak mengenal agama.

Sore itu saya kembali menyusuri jalan poros penghubung antar kabubaten di Provinsi  Sulawesi Selatan yang selalu padat, apalagi seminggu menjelang Ramadhan seperti ini. Beberapa orang teman memilih menemani saya menembus jalan menanjak menuju kabupaten Gowa daerah yang masuk dalam kerajaan Gowa dimasa kerajaan di bumi nusantara. Ketimbang menembus rapat merayapnya pasar terong dan pasar senggol atau menyaksikan romantisme senja sekedar berburu sunset atau siluet dipantai losari. Jalan menuju Danau Tanralili, danau yang lagi heboh-hebohnya di mesia social Instagram kala itu. Namaun sayangnya media yang satu ini tidak membuat saya tertarik, media yang mencari followers bagai agama mencari penganut.

Jalan potong Hartasning ke gerbang perbatasan kabupaten Gowa dengan kota Makassar, menanjak sedikit dan menembus jalan poros menuju kota Bunga Malino yang masih masuk kedalam wilayah Kab. Gowa. Jalan yang familiar sebelas duabelas dengan jalan menuju kampus atau kosan. Entah setan apalagi yang merayu, disaat jutaan umat muslim dunia yang taat menyibukan diri tenggelam didalam kitab suci dan sujud khusyuk menguatkan iman menyambut bulan yang suci, kami malah menguatkan otot kaki dan pungung menapaki tiga tanjakan penyesalan menuju Danau Tanralili.

Sebut saja ini olahraga fisik menguatkan stamina menyambut hari-hari penuh dahaga dan godaan hawanafsu dibulan yang sakral sekelas bulan suci Ramadhan 1438 H. Danau Tanralili yang terletak di desa lengkese kabupaten Gowa, danau yang terbentuk akibat dari proses alam yang secara alami. Dikisahkan longsor dari gunung Bawakaraeng dan aliran air yang jernih dari gunung ditampung dan membentuk danau indah ini. Namun danau indah yang harus dibayar nyawa oleh penduduk dibawah kaki gunung yang kehilangan desa dan keluarga tercinta. Dibalik keindahan selalu ada kisah tragis, selalu keindahan dibungkus dengan kesusahan, begitu kiranya makna yang tersirat dari danau yang indah ini.

Sejam menyusuri poros kota Bunga, jalan yang berkelok dan menanjak bagai sulaman benang wol . kami menembus gelap gulitanya jalan dan hawa dataran tinggi yang menusuk-nusuk tulang bagai jarum. Hingga akhirnya berbelok menurun menuju desa Parigi Kab. Gowa. Jalan yang mulai samar diingatan, tiga tahun silam saya melewati jalan ini dengan lima orang teman setelah seminggu melintasi  gunung Lompobattang dan Bulubaria. Sungguh ini malam yang pekat mengubur ingatan, arah menuju desa Majannang kab. Gowa lenyap seketika diingatan setelah menemui persimpangan. Jelas sangat berat berjudi dengan ketidak tahuan. Maka dengan keterbatasan jaringan internet dan ketidak tersediaan peta yang memang dianggap tidak perlu maka jadilah kata-kata warga local bagai nasehat rantau seorang nenek.

Desa Majannang masih segar diingatan. Desa yang kira-kira duapuluh menit sebelum desa Lengkese. Seorang pak desa paruh baya yang bersedia memberi ruang istirahat dan makanan alakadarnya setelah sehari menuruni gunung Bulubaria tiga tahun silam pernah mengisahkan Danau Tanralili yang kala itu belum setenar sekarang. Desa yang religious, mesjid yang berada tepat ditikungan jalan itu selalu melagukan shalawat, terlihat beberapa tetua sedang khusyuk berdjikir sedang yang lainya tadarusan. Kembali kami berda pada jalur yang benar menuju desa Lengkese, pintu masuk Danau Tanralili.

Dua jam meninggalkan kota Daeng. Kota yang kami sebut rumah,  Setelah keluar dari rumah lengkap dengan peralatan tracking lengkap dengan carrier delapan puluh liter menjepit tulang punggung dan berbagai bekal bagai takjil. Malam itu menunjukan puku Sembilan malam, setelah melewati beberapa petak rumah terakhir, cahaya motor mulai membelah kegelapan persawahan dan menanjak  melewati jalan yang disebelah kiri jalan merupakan jurang yang menganga. Desa terakhir, pintu masuk Danau Tanralili tepat didepan sana. lagi seorang lelaki paruh baya yang kami panggil tata dalam bahasa bugis menyambut entah yang kesekian kalinya katanya hari itu.

Setelah bersalam-salaman, tata menyambut kami bagai kerabat jauh yang lama tak berjumpa. Mulailah kopi hitam dituangkan kedalam gelas kacanya, dan juga kue bagea dibagikan untuk menghangatkan badan. Tata yang hanya bersarung dan berjeket tipis seolah tidak terpengaruh dengan hawa dingin yang membekukan seiring larutnya malam. Tata mulai bercerita panjang lebar sejalan dengan kopi pahit yang mulai merangsang ingatan masa lalunya. Mulailah beliau banggakan Danau Tanralili yang menjadi idola baru dan icon wisata didesa Lengkese. Desa menjadi ramai diakhir pekan, dihari-hari biasa juga tak kalah ramai, desa tidak pernah sepi pengunjung dari berbagai komunitas dari segala penjuru Sulawesi Selatan tuturnya dengan wajah berseri-seri.

Tata mulai menghitung dan menanyakan kominitas kami, tepat Sembilan orang, tujuh laki-laki dan dua perempuan. Tidak heran jika tata menanyakan kominitas kami, melihat banyaknya sticker berbagai warna komunitas pencinta alam menempel dijendela kaca depan rumahnya. Sticker itu bagaikan kebanggaan tersendiri, tata tidak butuh followers di Instagram, dengan sticker yang sesak memenuhi jendela kaca rumahnya sudah menjelaskan popularitasnya dikalangan pencinta alam. Hampir saja saya menjawab kami adalah komunitas sesat mengingat bulan suci Ramadhan seminggu lagi menjumpai. Komunitas kami, seorang teman yang lebih dewasa segera memberi jawaban yang selayaknya, komunitas pertemanan yang sebenarnya satu sama lain baru berkenalan dirumah tata. Begitulah pertemanan terjalin dalam sebuah perjalanan.

Tata mulai menerangkan rute tracking mengingat tidak seorangpun diantara kami pernah mengunjungi Danau Tanralili sebelumnya. Rute kira-kira memakan waktu dua jam terangnya, jalur tracking kurang lebih bebatuan dan sedikit  menanjak jelasnya. Berhubung wilayah yang dituju adalah daerah rawan longsor maka kewaspadaan akan bahaya harus dikedepankan. Tata menasihati untuk selalu berhati-hati. Malam itu juga setelah meniupkan puja-puji kealam semesta serta meminta restu keselamatan kepada Pemilik alam semesta. Dengan berbekal pengetahuan yang minim akan kondisi jalur tracking, kami nekat menyusuri jalur membelah malam gulitanya rimba pegunungan.

Rembulan menjadi pelita menerangi jalan sempit yang dihimpit lembah dan jurang. Remang rembulan menampakan siluet pegunungan yang menghimpi. Kami berjalan beriringan meruntuhkan ego masing-masing. kami saling bergantian mencari jalur pendakian, dan sesekali berhenti meluruskan badang ditepian anak sungai sembari mencerna air jernih dari pegunungan yang masih alami. air tanpa kemasan yang komersil. Mulai lagi kami membunuh waktu dengan langkah-langkah kecil yang berirama, keakraban mulai tercipta atas dasar kepentingan yang sejalan.

Langit malam berbintang menjadi atap yang menenangkan. Ilusi akan angkernya rimba hutan berubah menjadi tempat paling nyaman dihamparan bumi. sesekali berpaspasan dengan kawanan sapi yang merumput dibawah kaki gunung tidak jauh dari perkebunan warga, suara jangkrik dan aroma dedaunan yang segar bagai menghirup udara dari surga dan saya menyangkali hutan yang diandaikan sebagai pintu neraka yang angker dalam kisah-kisah dongeng. Gunung dan rimba hutan serta mahkluk hidup yang bermukim didalamnya adalah keharmonisan kehidupan yang sebanrnya.

Tanjakan penyesalan pertama sukses kami lalui dan disambut dengan jalur menikung menurun. Kami memilih meluruskan betis sejenak. Dari kejauhan, diketinggian ini terlihat gemerlap cahaya lampu-lampu perkotaan di kota Daeng  mengubur cahaya bulan dan bintang, sunggu perkotaan yang kejam membunuh malam yang anggun. Beberapa teman perjalanan mulai merenungi perjalanan, rata-rata dari mereka, ini adalah perjalanan pertama hingga ketiga kalinya dititik ketinggian yang berbeda. Titik ketingian selalu member makna dan candunya sendiri teruntuk mereka yang bebas.

Dua tanjakan penyesalan berikutnya sukses kami lewati tnpa terkecuali. Perjalanan yang mengejutkan, saya berjalan dengan orang-orang yang kuat perihal melangkahkan kaki dibebatuan nan licin bekas longsoran gunung Bawakaraeng ini. Bias cahaya lampu head lamp mulai bertebaran dikejauhan, camp terakhir Danau Tanralili mulai nampak didepan mata. Beberapa teman mulai mempercepat langkah seiring dengan semakin dekatnya camp terakhir. Malam yang semakin larut perut yang mulai keroncongan membunuh alasan untuk berjalan santai. Akhirnya sampailah kami di tepian Danau Tanralili yang sudah sesak dipenuhi tenda para pejalan yang mengakhiri akhir pekan terakhir menjelang Ramadhan. Tiga tenda kami bangun dengan segera, dua tenda untuk laki-laki dan satu tenda khusus perempuan, tenda yang dibangun sengaja berdekatan menandakan kami merupakan kelompok yang sama. Lalu memasak makanan malam sebelum tidur menggigil dilembah pegunungan dan tepian danau yang mulai menebarkan hawa dingin yang khas dari pegunungan.

Koki Indomi telur
Saya bertugas sebagai koki malam itu. Segera kompor gas kecil dan nesting saya keluarkan dari carrier delapanpuluh literku. Seorang teman dengan sigap tanpa aba-aba sudah beres mencuci beras dan menyiapkan air dari danau, sungguh ini merupakan  kombinasi manusia kelaparan. Perihal meracik makanan alakadarnya diatas ketinggian seperti ini saya tergolong kedalam manusia yang terlatih. Makan malam siap saji ala indomi telur terasa berbeda ditepian danau seperti ini, diracik dengan sepenuh hati hasil latihan sehari-hari dikosan. Beberapa orang teman masih sibuk menguatkan pasak tenda dari terjangan angin malam. Angin dari pintu angin dari gunung Bulubaria bisikku tak seorangpun mengerti. Tiga tahun yang lalu badai digunung bulubaria sukses memutuskan satu tali webbing yang tergolong teruji disegala medan. Badai dari pintu angin melahap tenda kami tanpa pamrih. Maka jadilah malam paling ribut, angin seolah meluapkan kekesalanya pada tali yang kokoh terikat. Siluet dari tebing dan lembah yang mengelilingi danau ini membuat saya penasaran dan berimajinasi akan indahnya danau yang konon kabarnya tidak kalah indah dibandingkan Ranukombolo yang mulai dipenuhi dengan sampah.

Santap malam telah usai. Kopi hangat sengaja saya sediakan untuk menemani kisah-kisah nostalgia dari seorang teman perjalanan. Ia adalah seorang penyelam ulung dari lautan kepulauan tukang besi. Dalamnya misteri lautan telah ia salami berkali-kali namun tentu itu semua tidak memuaskan dahaga jiwa yang penuh akan perjalanan. Empat lelaki tangguh dari kepulauan tukang besi ikut menemani trip perdana Danau Tanralili. Belakangan saya baru menyadari salah seorang perempuan yang ikut juga berdarah kepulauan tukang besi. Nenek moyang kami jelas seorang pelaut bukan seorang pendaki yang ulung. Sungguh apa gerangan yang terjadi, masyarakat pesisir pantai ini tersesat dirimba hutan. Manusia mengabaikan habitat alami dan dengan cepat beradaptasi dengan segera. Atas dasar kecintaan akan alam semesta maka alam yang perkasa menerima dengan lapang. Kisah-kisah kampung halaman sukses meninabobokan saya didalam sleeping bag ditepian Danau Tanralili.

Pagi menjelang cahaya pagi mengembalikan sedikit stamina. Embun membasahi tenda, beberapa teman masih terjaga didalam sleeping bagnya masing-masing. Kubuka jendela kecil tendaku. Seandainya pagi selalu memesona dengan pemandangan alam seperti ini. Danau yang melebihi segala ekspektasi dipandangan pertama. Lagi saya masih jatuh cinta pada alam semesta. Danau yang kontras dengan perkotaan, jernih dihiasi dengan tenda beragam warna mengelilinginya, beberapa penghuni tenda melemparkan joranya ke danau mencari peruntungan sebagai sarapan pagi. Sungguh perjalanan yang sarat akan makna.

Pagi itu sebelum matahari bergulir semakin terik kami segera mendokumentasikan segala momen. Mengabadikan cerita kedalam sebuah cetak foto adalah cara terbaik menjaga kenangan. Segera kami tapaki tebing menjulang diatas danau. Tebing yang sengaja diciptakan Tuhan yang Maha Esa untuk memamerkan pesona Danau Tanralili. Diatas tebing itu kami bisa dengan leluasa mengabadikan landscape Danau Tanralili lengkap dengan tenda-tenda yang mengelilinginya. Biru danau yang menggambarkan kedalaman, keindahan sejati dengan pantulan lembah dan pegunungan di jernih airnya. Keindahan yang tak sempat dicerna oleh kekaguman.

Cerita hari itu selesai dengan peralatan yang mulai dirapikan kembali didalam carrier delapan puluh liter. Kembali telapak kaki diuji menuruni lembah-lembah penyesalan. Perjalanan pulang selalu lebih cepat, namun segalanya tidak pulang begitu saja, rasa dan kenangan masih berada didalamnya danau. Tidak main-main saya mengunjunginya empat kali dengan kelompok yang berbeda. Dan perjalanan pertama adalah cerita perjalanan yang sesungguhnya.

Kembali kami mengunjungi rumah tata untuk pamit. Kota daeng selalu terbuka lebar menyambut kami yang akan pulang. Kembali kami susuri jalanan kota yang penuh dengan kehidupan manusia. Seminggu setelahnya adalah kisah-kisah dilembaran kitab suci AL-Quran. Perintah dan janji-janji didalam bulan suci adalah keniscayaan dari Allah SWT. Hakikat sebuah ibadah adalah antara Allah SWT dengan hambanya . maka hambanya tidak perlu memamerkan kedekatan, biarlah kecintaan tetap sejati didalam hati. Cinta adalah tindakan yang mesti dipertanggung jawabkan. Begitulah kiranya para ulama menggambarkan cinta kepada Pemilik semesta yang megah ini.

Alam dan pemiliknya adalah bagian yang tidak terpisahkan. Mengagumi alam otomati mengagumi penciptanya. Semesta yang megah merupakan karya abadi dari Zat yang memenuhi segalanya. Sering menapaki pegunungan, lembah ataupun danau memberi hikmah nurani. Candu yang mendekatkan jalan kepada Pencipta alam yang sebenarnya. Terimakasih telah mengembalikan kami kejalan yang lurus. Jalan yang meyakini akan ciptaanya. Keyakina yang hanya milik satu yang mengkhendaki segala ciptaan. Manusia mecari dan mengagumi dengan caranya masing-masing.

Muh. Fajri Salam
Morowali 23 Desember 2017


Catatan Seorang Insomnia




***

Malam nanpanjang pagi tak jua menampakan arahnya, angin malam khusuk tak bersuara, ranting pepohonan sesentipun tak bergoyang juga lautan, tak ada gemuruh ombak yang menghantam bibir pantai, hanya deru mesin-mesin pabrik yang terdengar dari kejauhan sana. pabrik yang tak mengenal mati. Jadilah malam ini malam paling muram pekat dan menyedihkan. Gelap gulitanya pedesaan dipinggiran pabrik megah milik Negara yang kita sebut asing. Sebenarnya saya salah mengartikan keterasingan.

Senandung lagu mellow Ebiet G. Ade sejak tadi menyanyi tak kenal lelah mengiringi tidur seorang insomnia. Seorang yang mencintai tidur lebih dari siapapun di pedasaan ini, dan seorang yang sulit menemuinya lebih dari siapapun jua, sungguh miris. Malam semakin larut kopi yang saya racik sedari tadi semakin masak digelas stainless, kata mereka kopi hangat lebih nikmat. Waktu bergulir begitu saja dan saya masih kehabisan kata menyusun narasi.

Kemari saya ingin menulis sebuah tulisan berjudul tangga usia setelah mengulang-ulangi prosa karya Dewi Lestari dibuku filosofi kopinya prosa yang berjudul jembatan jaman. Saya begitu mengagumi gaya tulisan DEE, bagiku membaca tulisanya ibarat menyelami ruang imajinya. Sebenarnya ditulisan itu saya hanya ingin menyampaikan sedikit sumpah-sumpah  kepada Sang pemilik semesta. Konsistensi yang baru harus tercipta diumur yang genap, semisal meninggalkan kejahiliaan yang masih tersisa.

Tentu tidak ada perayaan seperti membunuh nyala lilin, asap dari lilin tentu tidak sama dengan sakralnya asap dupa yang membawa doa-doa seoarang hamba. Saya sengaja mengunci pemberitahuan dimedia liar serupa facebook yang informatif. Hal itu semata hanya ingin menghindari ucapan-ucapan yang semua orang berbeda dalam menafsirkanya. Semisal tafsiran dalam ruang sara semua orang bebas mengkritik dalam ruang warna yang sama maupun berbeda. Kritik sara yang semua orang sukai walaupun ada sebagian orang alergi terhadapnya. Tapi dengan tafsiran sara orang bisa menelanjangi lawan maupun kawan dengan pahamnya masing-masing. Dan saya tidak ingin ditelanjangi dan membuat kalian terpesona.

Bagi saya cukup dengan doa-doa para hamba yang taat, doa-doa layaknya pengantar mimpi seorang bujang. Saya tidak butuh kejutan dari tangan-tangan kecil manusia, maaf tidak bermaksud angkuh kita hanyalah manusia yang sama, yang membedakan adalah amal duniawi. Seringkali kita melakukan hal yang tidak sepatutnya seperti menghakimi manusia dengan amalnya padahal yang berhak adalah pemilik semesta yang luas ini, lagi kita hanyalah seorang hamba. Kejutaan yang saya harapkan diumur yang genap ini andai saja mimpi-mimpi yang membumbung menjadi kenyataan. Oh sungguh manisnya harapan.

Umur yang kian jauh melangkah. Kata Dewi Lestari kita masih berada  pada petak yang sama tidak ada yang perlu disombongkan. Kita hanya bertumbuh dewasa seiring jauhnya umur melangkah, namun dewasa tidak serta merta menjadikan kita manusia serba tahu seperti Mister Google. Perihal mimpi-mimpi yang kutiupkan kelangit tempat para pencipta tinggal biarlah Sang pencipta menindak lanjuti. Dalam hal mimpi semua manusia memiliki mimpi yang sama, yang membedakan hanyalah jalan-jalan yang kita lalui. 

Sekali lagi tidak ada yang berubah, Saya masih saja seorang bocah dari pesisir pantai, mimpiku laksana lautan biru yang luas. Semoga tetap seperti ini, hidup semau hati, tak perlu melawan takdir yang telah digariskan karna menjadi bangkai diakhir cerita adalah keniscayaan yang tidak dapat dirubah.

Muh. Fajri Salam
Morowali 16-12-2017


TRAVELING PART 4



Wisata Bahari (Bira Bulukumba)
2014
 
(pantai bira sumber Google)
Sebagai anak pantai, agak garing rasanya jika masih mengagumi keindahan pantai. Pantai yang alami dengan lautan nan jernih, serta dihuni ribuan spesies biota laut beserta karang bagaikan surga menjadi rumahnya, bukan lagi menjadi kejutan menarik bagi seorang anak pantai berdarah pelaut ulung dari laut Wakatobi. Itulah kesan pertama mendengar planing para sahabat yang menambahkan pantai Bira kedalam destinasi yang harus di kunjungi, beberapa orang sahabat terlihat kegirangan menanggapi tapi bagi seorang anak pantai pasti akan terkesan pulang kehabitat alami.

Tulisan ini sengaja saya tulis selepas Beridul Adha dirumah salah satu angkatan terbaik 2011 Andi Aenul Tul Mukarramah. Ia seorang dermawan berdarah Andi yang tinggal di Sinjai Selatan. Bila memperhatikan kampung halamanya sepertinya sama saja dengan desa-desa lain di Indonesia yang spesial adalah ia memiliki seorang kakak bernama Eka. Hari Raya Kurban di Sinjai Selatan  berjalan dengan hikmat seperti pada umumnya. Para jamaah berkumpul sejak pagi hari dilapangan sepakbola kecamatan. lapangan selapang ini sudah lebih dari cukup untuk menampung masyarakat sekecamatan di Sinjai Selatan. Selepas acara seperti biasa para tetuah dan keluarga berkumpul saling bersalam-salaman dan bersilaturahmi.

Beridul Adha dirumah keluarga seorang sahabat tentu lebih baik daripada beridul Adha di kosan sendirian kala itu. Makassar adalah adalah pusat pendidikan terbesar dikawasan Sulawesi, dan kami yang berasal dari beberapa penjuru Sulawesi jelas tidak mengherankan jika diperayaan hari besar sekelas Hari Raya Kurban menjadi hari yang sepi ditengah keramaian. Jauh dari keluarga dan memilih merayakan Hari Besar sendirian jelas bukan menjadi salah satu hal yang bijak karna beberapa sahabat juga masih berdarah Bugis dan tinggal didaerah-daerah para Karaeng. And than seorang bijak pasti akan memilih sebuah kebersamaan di hari raya.

Well, masih sedikit tergambar diingatan hari itu selepas prosesi sakral hari Raya Kurban terciptalah sebuah rencana menyusuri keindahan surga bawah laut dan pesisir pantai berpasir putih dengan laut yang jernih dikawasan wisata bahari Bira Bulukumba Sulawesi Selatan. Bira merupakan salah satu tempat paling terkenal dikawasan Sulawesi Selatan. tidak ada tempat wisata bahari paling kompleks selain Bira dikawasan Sulawesi Selatan. beberapa orang jika mendengar nama Bira pasti akan berpikir tempat ini identik dengan pasir putihnya yang bersih, tempat yang ramai dengan aneka wahana dan bebrapa spot snorkling dan diving.

Pagi itu kami keluar menyusuri kota-kota diujung Sulawesi Selatan berkendara keselatan menuju Bulukumba, daerah yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya para tukang kapal yang handal, salah satu mega karya terbainya adalah kapal-kapal Phinisi yang di tunggangi oleh para pelaut lenggendaris suku Bugis yang mendunia. Kita bisa melihat kapal-kapal Phinisi dipesisir pantai Bulukumba, juga kapal-kapal nelayan lokal, ini membuktikan selain lihai memahat kapal hebat masyararakat Bulukumba juga merupakan kumpulan para pelaut ulung Sulawesi Selatan selain Selayar dan Sinjai. Dikesampatan kedua kelak mungkin akan sangat hebat jika mempelajari para pemahat kapal legendaries ini membentuk sebuah Phinisi dan juga mengunjungi masyarakat suku Kajang yang konsisten dengan kehidupan leluhurnya, dimana masyarakat moderen mulai meninggalkan peradaban lama justru sebaliknya masyarakat suku Kajang tetap melestarikan kearifan ajaran leluhur.

Pagi itu setelah berkendara selama dua jam samapilah kami di pantai Bira yang terkenal itu. Seperti yang diceritakan sebelumnya kawasan wisata ini memang sangat ramai apa lagi bertepatan dengan hari raya, oleh sebab itu Tidak membingungkan membuat sebuah rencana wisata di pantai Bira, kita bisa mempunyai banyak pilihan wisata karena sejatinya perjalalanan bersama-sama adalah menyatukan semua keinginan. Dari beberapa perjalanan yang masuk dalam daftar traveling, perjalanan ke Bira menjadi perjalanan paling sibuk dibandingkan dengan perjalanan mendaki ke puncak-puncak gunung Sulawesi.

Dan hari yang melelahkan itu telah berlalu tiga tahun silam. Selamat Membaca catatan sederhana yang masih alami, saat itu saya menuliskan sedikit kebahagiaan dengan suasana hati yang bahagia. Lalu berbahagialah para pejalan dan berbahagialah perjalanan yang abadi didalam sebuah tulisan singkat.

Selamat Membaca..!!!

Muh. Fajri Salam
Morowali-10/12/2017




PANTAI BIRA SULAWESI SELATAN 

Foto di tanjung bira ( Fotografer "Alim Karibo" )
Terik matahari mengiringi perjalanan kali ini , inilah kemarau di bulan okteber,  jam tangan menunjukan pukul 11:00 Wita. kali ini lokasi yang kami tuju  adalah Pantai Bira, tempat wisata pantai yang selalu banyak diminati oleh wisatawan-wisatawan jika berkunjung ke sulawesi selatan. Untuk bisa sampai di pantai bira, memerlukan waktu 4 – 5 jam jika star dari kota makassar. Pantai bira berada sulawesi selatan, tepatnya di Bulukumba.

Kali ini perjalanan tidak memerlukan waktu yang lama karna kami memulai perjalanan dari sinjai selatan, sebenarnya perjalanan kali ini adalah rangkaian liburan Idul Adha dirumah sahabat yang berada di sinjai selatan negri para karaeng konon kabarnya, perjalanan memakan waktu 2 jam saja menuju pantai bira, akses jalan menuju ketempat inipun memadai alhasil kami menikmati perjalanan ketempat ini.

Waktu menunjukan pukul 12:30 kurang lebih 20 km lagi untuk sampai di pantai bira. Disepanjan perjalanan yang kami lalui nampak terlihat pesisir pantai dan lautan yang dipenuhi kepal-kapal nelayan, sekilas saya merasa berada di kampung sedindiri, hamparan laut yang dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan  membawaku kembali ke pulauku “Tomia” yang berada di kabupaten wakatobi Sulawesi Tenggara, perjalanan kali ini membuatku bernostalgia kekampung halaman.

Tak menunggu lama akhirnya kami sampai dipantai bira, hamparan pasir putih dan laut hijau biru yang berkombinasi dengan langit biru memanjakan mata kami ketika berda ditempat ini, sebagai orang yang besar di daerah pantai mungkin bagiku tempat ini tidak asing, namun yang membedakan tempat ini disesaki oleh resort, restoran, tempat pengnapan dan tempat wahana bermain dan penjual oleh-oleh yang jarang kutemui ditempatku.

Foto di tanjung Bira (Fotografer "Nur Aini Sondeng" )

Sejenak meluruskan badan yang lelah karna perjalanan di pantai ini sambil bernegosiasi untuk mengisi kegiatan perjalanan di pantai ini, dan akhirnya kami sepakat untuk mencoba menikmati sensasi snorkling, bermain banana boat dan mengunjungi tempat penangkaran penyu, konon kabarnya dipantai ini memiliki pemandangan alam bawah laut yang indah, dan juga bisa berenag langsung dengan penyu yang dipelihara oleh warga ditempat penangkarannya.

Waktu masi menunjukan pukul 13:30 matahari masi sangat panas dan akhirnya memaksa kami untuk menunggu waktu yang tepat, tak ada yang berani melawan teriknya matahari kali ini, sembari mengisi waktu mulai ada aktifitas-aktifitas tambahan seperti halnya mengabadikan momen, bercerita, dan meluruskan badan, saya sendiri kuhabiskan dengan berbagi pengalaman dengan pemilik alat snorkling yang kami sewa, dari informasi pemilik alat, konon pantai bira merupakan Benteng Pertahanan Laut dan Utama di sebelah selatan Sulawesi Selatan, aktifitas nelayan di pesisir pantai ini tidak jauh berbeda dengan nelayan di pulau Tomia, disini juga terdapat Bulu Babi (Tihe) makanan favoritku.

( Fotografer "Andi Aenul" )
Tak terasa waktu yang ditunggupun tiba, kami mulai bergegas menuju pesisir laut, segera memakai pelampung yang telah disiapkan dan hendak menaiki banana boat yang sebenarnya hanya bermuatan tujuh orang alhasil ada satu orang yang tidak memiliki tempat pegangan karna kami berjumlah delapan orang, namun itu tidak menjadi masalah berarti. Baru kali ini saya mencoba menikmati sensasi naik banana boat, hal paling menarik menunggangi banana boat adalah ketika ditarik dengan kecapatan tinngi oleh speed boat lalu banan boat sengaja diterbalikkan sehinnga para awak banana boat terjungkal kelautan bebas.

Speed boat kemudian menggiring kami ke pulau seberang yang berada tidak jauh dari pantai bira Pulau Liukang tepatnya, pulau ini menjadi spot utama untuk snorkling, konon kabarnya pulau liukang memiliki terumbu karang yang indah. Tak menunggu lama alat snorklingpun dibagikan, dan kami mulai memakainya, namun ada bebera sahabat yang kebingungan memakainya karna sebelumnya belum pernah memakai alat snorkling bahkan merekapun kesusahan untuk bernafas ketika mencoba berenang, namun tak menunggu waktu lama untuk aktimalisasi. merekapun mulai terbiasa dan mulai menikmati alam bawah laut di pulau liukang.

 
Snorkling di Pulau Liukang
                                             
Alam bawah laut dipulau liukang nampak indah, hanya saja terumbu karangnya tidak begitu padat dan ramai seperti yang ada di Wakatobi. Terumbu karang dipulau ini nampak berpisah-pisah, terdapat jarak yang memisahkan antara terumbu karang. Walaupun tidak begitu padat kami tetap menikmati alam bawah laut yang disajikan pulau liukan.

Photo di Penangkara Penyu Liukan


                                                                      


Berhubung waktu sudah mulai sore ,Tidak begitu lama kegiatan snorklingpun kami akhiri dan kemudian kami diantar ketempat penangkaran penyu yang berada dipulau liukang ini, biaya masuk ketempat penangkaran  Rp.10.000, dan kami bisa langsung berenang dengan penyu yang jinak, ini pertama kalinya kami berenang langsung dengan penyu, sangat mengagumkan bisa berenang dengan penyu, menurut beberapa literatur penyu merupakan perenang yang handal jika berada dilautan bebas, mungkin saja kami bisa jadi perenang yang handal jika berenang bersama penyu dipenangkaran ini.
Sunset & Siluet
Hari semakin sore aktivitaspun kami akhiri, dan kembali kepantai bira dengan menggunakan banana boat. Klimaksnya adalah menikmati sensasi menunggangi banana boat, tejatuh berkali-kali kelaut bebas hingga membuat pemilik banana boat geram dengan aksi kami, namun tak mengurangi keseruan perjalanan kali ini. akhirnya kami kembali kepantai dan menikmati indahnya jingga matahari terbenam, bulat dan megah, tak lupa juga mengabadikan momen yang langka.

 

Popular