Catatan Seorang Insomnia




***

Malam nanpanjang pagi tak jua menampakan arahnya, angin malam khusuk tak bersuara, ranting pepohonan sesentipun tak bergoyang juga lautan, tak ada gemuruh ombak yang menghantam bibir pantai, hanya deru mesin-mesin pabrik yang terdengar dari kejauhan sana. pabrik yang tak mengenal mati. Jadilah malam ini malam paling muram pekat dan menyedihkan. Gelap gulitanya pedesaan dipinggiran pabrik megah milik Negara yang kita sebut asing. Sebenarnya saya salah mengartikan keterasingan.

Senandung lagu mellow Ebiet G. Ade sejak tadi menyanyi tak kenal lelah mengiringi tidur seorang insomnia. Seorang yang mencintai tidur lebih dari siapapun di pedasaan ini, dan seorang yang sulit menemuinya lebih dari siapapun jua, sungguh miris. Malam semakin larut kopi yang saya racik sedari tadi semakin masak digelas stainless, kata mereka kopi hangat lebih nikmat. Waktu bergulir begitu saja dan saya masih kehabisan kata menyusun narasi.

Kemari saya ingin menulis sebuah tulisan berjudul tangga usia setelah mengulang-ulangi prosa karya Dewi Lestari dibuku filosofi kopinya prosa yang berjudul jembatan jaman. Saya begitu mengagumi gaya tulisan DEE, bagiku membaca tulisanya ibarat menyelami ruang imajinya. Sebenarnya ditulisan itu saya hanya ingin menyampaikan sedikit sumpah-sumpah  kepada Sang pemilik semesta. Konsistensi yang baru harus tercipta diumur yang genap, semisal meninggalkan kejahiliaan yang masih tersisa.

Tentu tidak ada perayaan seperti membunuh nyala lilin, asap dari lilin tentu tidak sama dengan sakralnya asap dupa yang membawa doa-doa seoarang hamba. Saya sengaja mengunci pemberitahuan dimedia liar serupa facebook yang informatif. Hal itu semata hanya ingin menghindari ucapan-ucapan yang semua orang berbeda dalam menafsirkanya. Semisal tafsiran dalam ruang sara semua orang bebas mengkritik dalam ruang warna yang sama maupun berbeda. Kritik sara yang semua orang sukai walaupun ada sebagian orang alergi terhadapnya. Tapi dengan tafsiran sara orang bisa menelanjangi lawan maupun kawan dengan pahamnya masing-masing. Dan saya tidak ingin ditelanjangi dan membuat kalian terpesona.

Bagi saya cukup dengan doa-doa para hamba yang taat, doa-doa layaknya pengantar mimpi seorang bujang. Saya tidak butuh kejutan dari tangan-tangan kecil manusia, maaf tidak bermaksud angkuh kita hanyalah manusia yang sama, yang membedakan adalah amal duniawi. Seringkali kita melakukan hal yang tidak sepatutnya seperti menghakimi manusia dengan amalnya padahal yang berhak adalah pemilik semesta yang luas ini, lagi kita hanyalah seorang hamba. Kejutaan yang saya harapkan diumur yang genap ini andai saja mimpi-mimpi yang membumbung menjadi kenyataan. Oh sungguh manisnya harapan.

Umur yang kian jauh melangkah. Kata Dewi Lestari kita masih berada  pada petak yang sama tidak ada yang perlu disombongkan. Kita hanya bertumbuh dewasa seiring jauhnya umur melangkah, namun dewasa tidak serta merta menjadikan kita manusia serba tahu seperti Mister Google. Perihal mimpi-mimpi yang kutiupkan kelangit tempat para pencipta tinggal biarlah Sang pencipta menindak lanjuti. Dalam hal mimpi semua manusia memiliki mimpi yang sama, yang membedakan hanyalah jalan-jalan yang kita lalui. 

Sekali lagi tidak ada yang berubah, Saya masih saja seorang bocah dari pesisir pantai, mimpiku laksana lautan biru yang luas. Semoga tetap seperti ini, hidup semau hati, tak perlu melawan takdir yang telah digariskan karna menjadi bangkai diakhir cerita adalah keniscayaan yang tidak dapat dirubah.

Muh. Fajri Salam
Morowali 16-12-2017


Tidak ada komentar:

Popular