***
Malam
nanpanjang pagi tak jua menampakan arahnya, angin malam khusuk tak bersuara,
ranting pepohonan sesentipun tak bergoyang juga lautan, tak ada gemuruh ombak
yang menghantam bibir pantai, hanya deru mesin-mesin pabrik yang terdengar dari
kejauhan sana. pabrik yang tak mengenal mati. Jadilah malam ini malam paling
muram pekat dan menyedihkan. Gelap gulitanya pedesaan dipinggiran pabrik megah
milik Negara yang kita sebut asing. Sebenarnya saya salah mengartikan
keterasingan.
Senandung
lagu mellow Ebiet G. Ade sejak tadi menyanyi tak kenal lelah mengiringi tidur
seorang insomnia. Seorang yang mencintai tidur lebih dari siapapun di pedasaan
ini, dan seorang yang sulit menemuinya lebih dari siapapun jua, sungguh miris.
Malam semakin larut kopi yang saya racik sedari tadi semakin masak digelas
stainless, kata mereka kopi hangat lebih nikmat. Waktu bergulir begitu saja dan
saya masih kehabisan kata menyusun narasi.
Kemari saya
ingin menulis sebuah tulisan berjudul tangga usia setelah mengulang-ulangi
prosa karya Dewi Lestari dibuku filosofi kopinya prosa yang berjudul jembatan
jaman. Saya begitu mengagumi gaya tulisan DEE, bagiku membaca tulisanya ibarat
menyelami ruang imajinya. Sebenarnya ditulisan itu saya hanya ingin
menyampaikan sedikit sumpah-sumpah kepada Sang pemilik semesta.
Konsistensi yang baru harus tercipta diumur yang genap, semisal meninggalkan
kejahiliaan yang masih tersisa.
Tentu tidak
ada perayaan seperti membunuh nyala lilin, asap dari lilin tentu tidak sama dengan
sakralnya asap dupa yang membawa doa-doa seoarang hamba. Saya sengaja mengunci
pemberitahuan dimedia liar serupa facebook yang informatif. Hal itu semata
hanya ingin menghindari ucapan-ucapan yang semua orang berbeda dalam
menafsirkanya. Semisal tafsiran dalam ruang sara semua orang bebas mengkritik
dalam ruang warna yang sama maupun berbeda. Kritik sara yang semua orang sukai
walaupun ada sebagian orang alergi terhadapnya. Tapi dengan tafsiran sara orang
bisa menelanjangi lawan maupun kawan dengan pahamnya masing-masing. Dan saya
tidak ingin ditelanjangi dan membuat kalian terpesona.
Bagi saya
cukup dengan doa-doa para hamba yang taat, doa-doa layaknya pengantar mimpi
seorang bujang. Saya tidak butuh kejutan dari tangan-tangan kecil manusia, maaf
tidak bermaksud angkuh kita hanyalah manusia yang sama, yang membedakan adalah
amal duniawi. Seringkali kita melakukan hal yang tidak sepatutnya seperti
menghakimi manusia dengan amalnya padahal yang berhak adalah pemilik semesta
yang luas ini, lagi kita hanyalah seorang hamba. Kejutaan yang saya harapkan
diumur yang genap ini andai saja mimpi-mimpi yang membumbung menjadi kenyataan.
Oh sungguh manisnya harapan.
Umur yang
kian jauh melangkah. Kata Dewi Lestari kita masih berada pada petak yang sama tidak ada yang perlu
disombongkan. Kita hanya bertumbuh dewasa seiring jauhnya umur melangkah, namun
dewasa tidak serta merta menjadikan kita manusia serba tahu seperti Mister Google.
Perihal mimpi-mimpi yang kutiupkan kelangit tempat para pencipta tinggal
biarlah Sang pencipta menindak lanjuti. Dalam hal mimpi semua manusia memiliki
mimpi yang sama, yang membedakan hanyalah jalan-jalan yang kita lalui.
Sekali lagi
tidak ada yang berubah, Saya masih saja seorang bocah dari pesisir pantai,
mimpiku laksana lautan biru yang luas. Semoga tetap seperti ini, hidup semau
hati, tak perlu melawan takdir yang telah digariskan karna menjadi bangkai
diakhir cerita adalah keniscayaan yang tidak dapat dirubah.
Muh. Fajri Salam
Morowali 16-12-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar