Bulubaria
Malam itu kami bertenda di pos Sembilan gunung Lompobattang.
Malam dengan beratapkan bintang-bintang
yang Maha luas karya abadi Sang Maha Pencipta. Malam yang damai dan perlahan
kabut mulai turun membawa hawa dingin yang teramat mengigit. Kami bertenda
saling berhadapan. Beberapa orang menjadi barista dadakan dan beberapa orang
menjadi koki sesukanya memasak seadanya. Masakan instan ditambahkan dengan
beberapa protein. Sedikit vitamin dari sayur-sayuran. Lalu setelahnya adalah
diskusi menahan dingin, beberapa teguk kopi dan beberapa batang tembakau
menjadi obat penawar dingin. Ditepian jurang dipos Sembilan kami hanya ber enam
berkawan dengan alam-alam yang sepih. Didepan sana terhampar lampu-lampu
perkotaan. Teramat jauh jalan untuk kembali aku membatin didalam hati.
Tidak ada yang pernah mengeluh, seorangpun tidak pernah.
Sejauh ini sudah empat hari. Besok lompobattang akan kami tinggalkan, tapi
tidak kekota. Kami akan sekali lagi menuju ke puncak yang lain. Bulubaria
adalah gunung yang tidak terjamah oleh kaki-kaki penikmat alam. Mungkin hanya
kaki-kaki penikmat sejati yang pernah menjejakan kaki digunung itu. Malam itu
aku mendengarkan sedikit rute untuk besok. Mungkin saja perjalanan yang
bertambah sulit, intinya adalah tidak ada sumber air dan kami harus berkemah di
puncak pegunungan, area terbuka mungkin sedikit berbahaya sekali lagi aku
membatin.
Ekspektasiku sebenarnya adalah perjalanan ini berujung di
puncak bawakaraeng lalu menapakinya hingga kedesa lembannah, namun bawakaraeng
adalah pertemuan selanjutnya. Malam itu cuaca aku lupa suhunya tapi aku merasai
dinginya menembus sleeping bagku yang tebal. Menumbus kulit-kulit tipisku
hingga menggigil ditulang. Kami mencoba tidur tapi entahlah tertidur atau
tidak. Aku lupa. Yang aku ingat hanyalah rasa dingin ditulang-tulang sepanjang
malam hingga malam tak kuasa digusur pagi.
Pagi itu tanpa sunrise. Sebenarnya beberapa keindahan aku
sangat mencintainya seperti halnya sunrise. Aku ingat saat itu mataku masih
bengkak aku belum mencuci wajahku sedikitpun. Ditengah laut, aku pulang
kepulau-pulau surga. Ditengah laut tak ada yang menghalangi, dipagi yang cerah
dan lautan yang tenang begitu bersahabat lalu ditambah dengan sunrise di garis
cakrawala di sebelah timur teramat indah namun berjarak, perlahan naik hingga
menerangi seluruh jagad raya dan aku jatuh cinta, cinta yang abadi selamanya.
Pagi itu dengan sisa kabut yang perlahan ditelan oleh suhu,
kami mulai mengemasi barang-barang bawaan hingga sampah-sampah yang beserakah.
Kami mulai melipat tenda yang masih basah, dibasahi oleh embun tadi subuh. Lalu
memasukannya kedalam carrier 100 Liter. Sedikit sarapan dengan memanasi roti
lalu secangkir kopi, menyeruputnya dengan perlahan. Ini adalah perpisahaan yang
begitu cepat dengan pos-pos pegunungan
lompobattang. Selanjutnya tinggalah sisa-sisa kenagan didalam
memori-memori yang tak terbatas.
(Doc Pribadi)
Bayang-bayang pos Sembilan sudah mulai memudar dibelakang
sana. aku menanjaki puncak lompobattang untuk kedua kalinya setelah kemarin
sore. Kali ini seluruh pos dilewati hingga pos terakhir pegunungan
lompobattang. Sampai jumpa, sampai bertemu di takdir yang berbeda. Kami tiba
dipersimpangan. Dibawah sana lembah charisma dan menanjak kebawakaraeng. Tapi
kami berbelok kekiri menyusuri paunggung-punggung pegunungan. Memasuki
kabut-kabut kian tebal nyaris mengubur pandangan yang terbatas. Bulubaria
adalah tujuan kami.
(Doc Pribadi)
Spiritual. Hal unik yang saya dapati ditempat ini adalah
jejak-jejak penganut singkritisme. Ada beberapa sesajian yang sudah mulai
membusuk terletak diatas batu-batu yang diyakini sebagai Kaabah mereka
menyebutnya kaabang. Pada bulan haji tempat ini digunakan sebagai tempat sholat
ID. Katanya jika berhaji ditempat ini pada bulan haji setara dengan mereka yang
telah melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah. Ini mungkin terlihat aneh
bagi keyakinan yang telah kita anut, namun begitulah keyakinan kita tidak bisa
menjudge bahwa apa yang telah kita yakini adalah yang harus ditaati oleh
seluruh umat manusia sejagad raya.
(Doc Pribadi)
Hari itu tampa memedulikan waktu, kami masih terus
memunggungi pegunungan. Meyusuri jalan-jalan yang rimbun beserta kabut-kabut
yang mengubur cahaya. jalur-jalur yang mengejutkan, kami harus menuruni tebing
yang terjal lagi licin. Jalur ini kami sebut pintu angin. Terdapat 2 batu
menjulang tinggi berbentuk gerbang. Suara gemuruh angin terdengar saling
memburu. Kami menuruni jalur ini dengan menggunakan webbing.
Tidak
ada pos-pos sepertihalnya pada gunung lompobattang. Satu-satunya pos hanyalah
dipuncak gunung bulubaria dan disanalah kami akan bertenda. Perjalanan
kebulubaria adalah perjalanan diatas ketinggian. Jelas saja kami berjalan
diatas punggung pegunungan, sisi kiri dan kanan adalah tebing yang jelas sangat
berbahaya.
(Doc Pribadi)
Ini sama halnya berjalan diatas awan. Dibawah sana terlihat
gumpalan-gumpalan awan. Sesekali kami istrahat dan menikmati keindahan alam.
Sungguh keindahan yang tiada tara. Dibawah sana lembah-lebah terlihat sangat
kecil. Mungkin beginilah Tuhan melihat ciptaannya segalanya terlihat kecil.
Dibelakang pegunungan lompobattang sudah tidak terlihat. Yang terlihat hanyalah
gunung bawakaraeng disisi kanan. Gunung bawakaraeng berdiri megah dan aku hanya
bisa menikmatinya dari kejauhan.
Mendekati bulubaria, cuaca sangat cerah. Sore hari yang
cerah. Sore itu, seperti biasa kami menyaksikan pergantian waktu kala matahari
mulai terbenam digaris cakrawala. Dahulu kita mengira disaat matahari tenggelam
masuk kedalam lautan tempat peraduannya, kita mengira ia israhat tapi sejatinya
kitalah yang istirahat, matahari ia menyinari tempat yang berbeda dan
meninggalkan kita istirahat didekapan malam yang gelap gulita.
(Doc Pribadi)
Gumpalan awan-awan membentuk samudra diatas ketinggian. Sore
itu kembali aku puas untuk kedua kalinya. Diatas puncak bulubaria aku menjadi
saksi-saksi hidup bahwa betapa bahagianya hidup memandangi kendahan-keindahan
yang tiada hentinya. Keindahan buatan alami dari Allah SWT. Disanalah dibawah
garis cakrawala itu aku menatap kejauhan hingga mata tak sanggup menyaksikan
begitu luasnya ciptaan Allah. begitu indahnya. Sekali lagi aku puas tujuh
keliling.
Ujian terbesar bertenda diatas puncak pegunungan yang
terbuka adalah kita mesti siap diterpah angin malam yang ganas. Angin darat
ketika angin bergerak menyusuri lembah-lembah hingga kami yang bertenda diarea
yang lapang dan terbuka, ia hanya mempunyai satu tujuan yakni kelaut, bergerak
cepat dan kejam tanpa memperdulikan kami yang bertenda. Beberapa saat kami
melawan alam hanya untuk menyambung hidup, saling berbagi makanan dan beberapa
gelas kopi hangat. Selebihnya kami memilih untuk menyerah dengan berbaring
dengan rapi didalam tenda. Tentu tiadak ada yang menang jika melawan alam.
Semalam dipuncak bulubaria, aku tidak berani menghabiskan
dua malam disana, tak ada air, area yang terbuka untuk bertenda, badai malam
yang kejam. Selalunya seperti itu kala keindahan dibungkus dengan perjuangan. Sekali
lagi aku harus akui keindahan-keindahan itu hanyalah bingkisan sempurnah dari
Allah SWT namun tidak lama, beberapa detik saja. Tetapi tetap saja betapa
beruntungnya aku menerima bingkisan itu.
Pagi itu adalah perpisahan yang tak kusangka hingga tiga
tahun lamanya. Berhari-hari diatas ketinggiang 2000, tak ada aturan manusia
yang menyekat ruang-ruang kehidupan. Disini sejatinya Hanya aturan Allah SWT
yang berkuasa, didalam perantara Alam yang mengagumkan aku tunduk menyerah
tidak pernah melempar tantangan. Aku hanya terkagum-kagum percaya hingga
kecanduan. Pagi itu juga adalah perpisahan yang paling membosankan yang pernah
ada. Menuruni punggung pegunungan hingga lagi matahari kembali keperaduannya.
penurunan sepanjang hari apa itu tidak membosankan. Tapi itulah kejutan-kejutan
dari sebuah perjalanan istimewa.
Hari itu perjalanan belum usai. Kami mengabiskan malam
didesa majannang, dirumah pak desa yang megah namun ramah, kami disuguhi
makanan ala kadarnya. Diamatanya mungkin ia melihat beberapa orang kurang
kerjaan hingga menyusuri pegunungan hingga dua minggu lalu bermalam dipuncak
bulubaria yang kejam. Warga dibawah kaki gunung memang selalu ramah, tak ada
kecemasan melihat wajah-wajah kusut dihadapanya mereka tanpa pamrih selalu memberi
bantuan alakadarnya. Serasa asing setelah seminggu beratapkan langit beralaskan
tanah, kali ini kramik-kramik mahal dan plafon-plafon ukir yang artistic, kali
ini kami tidur lelap didalam benteng-benteng buatan manusia melindungi diri
membatasi diri, kami menyebutnya rumah samapai mati.
Keesokan harinya kami menapaki jalan-jalan yang mulus di
kota bunga Malino. Kami hanya mencari tumpangan untuk pulang. Kali ini
benar-benar pulang. Kota daeng semua
kisah-kisah indah seminggu itu berakhir. Beberapa orang berbaik hati memberi tumpangan
higga kepersimpangan jalan Sultan Alauddin, dan lalu menumpang lagi hingga
keperempatan jalan Fly Over dan berakhir dikampus Unhas. Perjalanan seminggupun
usai menyisahkan kenangan, menyisahkan rindu.
Setelahnya aku hanyalah orang yang kecanduan, sesekali
keluar memuaskan jiwa dengan keindahan-keindahan bingkisan dari Sang Maha
Pencipta. Selebinya adalah perasaan rindu didalam batin akan segalanya,
kenangan-kenangan yang tidak pernah padam.
Hallo October, Aku kecanduan, Aku butuh penawarnya.
Muh. Fajri Salam
Pulau Surga 2017/10/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar