FLAYING CAMP II



Bulubaria

Malam itu kami bertenda di pos Sembilan gunung Lompobattang. Malam dengan beratapkan  bintang-bintang yang Maha luas karya abadi Sang Maha Pencipta. Malam yang damai dan perlahan kabut mulai turun membawa hawa dingin yang teramat mengigit. Kami bertenda saling berhadapan. Beberapa orang menjadi barista dadakan dan beberapa orang menjadi koki sesukanya memasak seadanya. Masakan instan ditambahkan dengan beberapa protein. Sedikit vitamin dari sayur-sayuran. Lalu setelahnya adalah diskusi menahan dingin, beberapa teguk kopi dan beberapa batang tembakau menjadi obat penawar dingin. Ditepian jurang dipos Sembilan kami hanya ber enam berkawan dengan alam-alam yang sepih. Didepan sana terhampar lampu-lampu perkotaan. Teramat jauh jalan untuk kembali aku membatin didalam hati.

Tidak ada yang pernah mengeluh, seorangpun tidak pernah. Sejauh ini sudah empat hari. Besok lompobattang akan kami tinggalkan, tapi tidak kekota. Kami akan sekali lagi menuju ke puncak yang lain. Bulubaria adalah gunung yang tidak terjamah oleh kaki-kaki penikmat alam. Mungkin hanya kaki-kaki penikmat sejati yang pernah menjejakan kaki digunung itu. Malam itu aku mendengarkan sedikit rute untuk besok. Mungkin saja perjalanan yang bertambah sulit, intinya adalah tidak ada sumber air dan kami harus berkemah di puncak pegunungan, area terbuka mungkin sedikit berbahaya sekali lagi aku membatin.

Ekspektasiku sebenarnya adalah perjalanan ini berujung di puncak bawakaraeng lalu menapakinya hingga kedesa lembannah, namun bawakaraeng adalah pertemuan selanjutnya. Malam itu cuaca aku lupa suhunya tapi aku merasai dinginya menembus sleeping bagku yang tebal. Menumbus kulit-kulit tipisku hingga menggigil ditulang. Kami mencoba tidur tapi entahlah tertidur atau tidak. Aku lupa. Yang aku ingat hanyalah rasa dingin ditulang-tulang sepanjang malam hingga malam tak kuasa digusur pagi.

Pagi itu tanpa sunrise. Sebenarnya beberapa keindahan aku sangat mencintainya seperti halnya sunrise. Aku ingat saat itu mataku masih bengkak aku belum mencuci wajahku sedikitpun. Ditengah laut, aku pulang kepulau-pulau surga. Ditengah laut tak ada yang menghalangi, dipagi yang cerah dan lautan yang tenang begitu bersahabat lalu ditambah dengan sunrise di garis cakrawala di sebelah timur teramat indah namun berjarak, perlahan naik hingga menerangi seluruh jagad raya dan aku jatuh cinta, cinta yang abadi selamanya.

Pagi itu dengan sisa kabut yang perlahan ditelan oleh suhu, kami mulai mengemasi barang-barang bawaan hingga sampah-sampah yang beserakah. Kami mulai melipat tenda yang masih basah, dibasahi oleh embun tadi subuh. Lalu memasukannya kedalam carrier 100 Liter. Sedikit sarapan dengan memanasi roti lalu secangkir kopi, menyeruputnya dengan perlahan. Ini adalah perpisahaan yang begitu cepat dengan pos-pos pegunungan  lompobattang. Selanjutnya tinggalah sisa-sisa kenagan didalam memori-memori yang tak terbatas.
(Doc Pribadi)

Bayang-bayang pos Sembilan sudah mulai memudar dibelakang sana. aku menanjaki puncak lompobattang untuk kedua kalinya setelah kemarin sore. Kali ini seluruh pos dilewati hingga pos terakhir pegunungan lompobattang. Sampai jumpa, sampai bertemu di takdir yang berbeda. Kami tiba dipersimpangan. Dibawah sana lembah charisma dan menanjak kebawakaraeng. Tapi kami berbelok kekiri menyusuri paunggung-punggung pegunungan. Memasuki kabut-kabut kian tebal nyaris mengubur pandangan yang terbatas. Bulubaria adalah tujuan kami.
 (Doc Pribadi)

Spiritual. Hal unik yang saya dapati ditempat ini adalah jejak-jejak penganut singkritisme. Ada beberapa sesajian yang sudah mulai membusuk terletak diatas batu-batu yang diyakini sebagai Kaabah mereka menyebutnya kaabang. Pada bulan haji tempat ini digunakan sebagai tempat sholat ID. Katanya jika berhaji ditempat ini pada bulan haji setara dengan mereka yang telah melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah. Ini mungkin terlihat aneh bagi keyakinan yang telah kita anut, namun begitulah keyakinan kita tidak bisa menjudge bahwa apa yang telah kita yakini adalah yang harus ditaati oleh seluruh umat manusia sejagad raya.
                                                                    (Doc Pribadi)
Hari itu tampa memedulikan waktu, kami masih terus memunggungi pegunungan. Meyusuri jalan-jalan yang rimbun beserta kabut-kabut yang mengubur cahaya. jalur-jalur yang mengejutkan, kami harus menuruni tebing yang terjal lagi licin. Jalur ini kami sebut pintu angin. Terdapat 2 batu menjulang tinggi berbentuk gerbang. Suara gemuruh angin terdengar saling memburu. Kami menuruni jalur ini dengan menggunakan webbing.

(
                                                                          (Doc Pribadi)
Tidak ada pos-pos sepertihalnya pada gunung lompobattang. Satu-satunya pos hanyalah dipuncak gunung bulubaria dan disanalah kami akan bertenda. Perjalanan kebulubaria adalah perjalanan diatas ketinggian. Jelas saja kami berjalan diatas punggung pegunungan, sisi kiri dan kanan adalah tebing yang jelas sangat berbahaya. 
(Doc Pribadi)

Ini sama halnya berjalan diatas awan. Dibawah sana terlihat gumpalan-gumpalan awan. Sesekali kami istrahat dan menikmati keindahan alam. Sungguh keindahan yang tiada tara. Dibawah sana lembah-lebah terlihat sangat kecil. Mungkin beginilah Tuhan melihat ciptaannya segalanya terlihat kecil. Dibelakang pegunungan lompobattang sudah tidak terlihat. Yang terlihat hanyalah gunung bawakaraeng disisi kanan. Gunung bawakaraeng berdiri megah dan aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan.

Mendekati bulubaria, cuaca sangat cerah. Sore hari yang cerah. Sore itu, seperti biasa kami menyaksikan pergantian waktu kala matahari mulai terbenam digaris cakrawala. Dahulu kita mengira disaat matahari tenggelam masuk kedalam lautan tempat peraduannya, kita mengira ia israhat tapi sejatinya kitalah yang istirahat, matahari ia menyinari tempat yang berbeda dan meninggalkan kita istirahat didekapan malam yang gelap gulita.
 (Doc Pribadi)
Gumpalan awan-awan membentuk samudra diatas ketinggian. Sore itu kembali aku puas untuk kedua kalinya. Diatas puncak bulubaria aku menjadi saksi-saksi hidup bahwa betapa bahagianya hidup memandangi kendahan-keindahan yang tiada hentinya. Keindahan buatan alami dari Allah SWT. Disanalah dibawah garis cakrawala itu aku menatap kejauhan hingga mata tak sanggup menyaksikan begitu luasnya ciptaan Allah. begitu indahnya. Sekali lagi aku puas tujuh keliling.

Ujian terbesar bertenda diatas puncak pegunungan yang terbuka adalah kita mesti siap diterpah angin malam yang ganas. Angin darat ketika angin bergerak menyusuri lembah-lembah hingga kami yang bertenda diarea yang lapang dan terbuka, ia hanya mempunyai satu tujuan yakni kelaut, bergerak cepat dan kejam tanpa memperdulikan kami yang bertenda. Beberapa saat kami melawan alam hanya untuk menyambung hidup, saling berbagi makanan dan beberapa gelas kopi hangat. Selebihnya kami memilih untuk menyerah dengan berbaring dengan rapi didalam tenda. Tentu tiadak ada yang menang jika melawan alam.

Semalam dipuncak bulubaria, aku tidak berani menghabiskan dua malam disana, tak ada air, area yang terbuka untuk bertenda, badai malam yang kejam. Selalunya seperti itu kala keindahan dibungkus dengan perjuangan. Sekali lagi aku harus akui keindahan-keindahan itu hanyalah bingkisan sempurnah dari Allah SWT namun tidak lama, beberapa detik saja. Tetapi tetap saja betapa beruntungnya aku menerima bingkisan itu.

Pagi itu adalah perpisahan yang tak kusangka hingga tiga tahun lamanya. Berhari-hari diatas ketinggiang 2000, tak ada aturan manusia yang menyekat ruang-ruang kehidupan. Disini sejatinya Hanya aturan Allah SWT yang berkuasa, didalam perantara Alam yang mengagumkan aku tunduk menyerah tidak pernah melempar tantangan. Aku hanya terkagum-kagum percaya hingga kecanduan. Pagi itu juga adalah perpisahan yang paling membosankan yang pernah ada. Menuruni punggung pegunungan hingga lagi matahari kembali keperaduannya. penurunan sepanjang hari apa itu tidak membosankan. Tapi itulah kejutan-kejutan dari sebuah perjalanan istimewa. 

Hari itu perjalanan belum usai. Kami mengabiskan malam didesa majannang, dirumah pak desa yang megah namun ramah, kami disuguhi makanan ala kadarnya. Diamatanya mungkin ia melihat beberapa orang kurang kerjaan hingga menyusuri pegunungan hingga dua minggu lalu bermalam dipuncak bulubaria yang kejam. Warga dibawah kaki gunung memang selalu ramah, tak ada kecemasan melihat wajah-wajah kusut dihadapanya mereka tanpa pamrih selalu memberi bantuan alakadarnya. Serasa asing setelah seminggu beratapkan langit beralaskan tanah, kali ini kramik-kramik mahal dan plafon-plafon ukir yang artistic, kali ini kami tidur lelap didalam benteng-benteng buatan manusia melindungi diri membatasi diri, kami menyebutnya rumah samapai mati.

Keesokan harinya kami menapaki jalan-jalan yang mulus di kota bunga Malino. Kami hanya mencari tumpangan untuk pulang. Kali ini benar-benar pulang.  Kota daeng semua kisah-kisah indah seminggu itu berakhir. Beberapa orang berbaik hati memberi tumpangan higga kepersimpangan jalan Sultan Alauddin, dan lalu menumpang lagi hingga keperempatan jalan Fly Over dan berakhir dikampus Unhas. Perjalanan seminggupun usai menyisahkan kenangan, menyisahkan rindu. 


Setelahnya aku hanyalah orang yang kecanduan, sesekali keluar memuaskan jiwa dengan keindahan-keindahan bingkisan dari Sang Maha Pencipta. Selebinya adalah perasaan rindu didalam batin akan segalanya, kenangan-kenangan yang tidak pernah padam.

Hallo October, Aku kecanduan, Aku butuh penawarnya.
Muh. Fajri Salam
Pulau Surga 2017/10/10

Tidak ada komentar:

Popular