TRAVELING PART II

Flying Camp
2014

Pagi ini aku terbangun dengan ingatan masih segar dikepala. Ingatan tentang perjalanan nan panjang menapaki punggung-punggung pegunungan, menapaki jalan-jalan yang begitu ramah. Ingatan yang hampir punah beberapa tahun belakangan. Tiga tahun silam, tepatnya tahun 2014, masa-masa indah kala itu sekaligus titik paling menjenuhkan dibangku-bangku polos ruangan kelas. 

Kemarin, aku bertemu dengan dua orang backpacker, mereka adalah Anne dan Eva, dua wanita tangguh yang berasal dari prancis. Aku memuji keduanya. Kebanyakan wanita mungkin tidak akan sanggup melakukan hal serupa. Keluar dari zona nyaman dihiruk pikuk kota-kota romantis. Kali ini aku terkurung di pulau-pulau surga. Gugusan kepulauan wakatobi yang namanya tersohor dikenal diamana-mana, aku selalu bangga menyebutkan salah satu pulau surga itu Pulau Tomia aku lahir dan besar disana.

Anne menceritakan kunjunganya ke Indonesia kepadaku, ia dan Eva adalah seorang dosen di Montpellier, kota para pelajar Prancis, ia datang untuk berkeliling ketempat-tempat yang sudah mereka jadwalkan dengan baik. Salah satu yang ia kunjungi adalah kepulauan Wakatobi, dua dari empat pulau yang mereka pilih adalah Pulau Tomia dan Ibu Kota Kabupaten Wakatobi Wangi-Wangi. Anne lahir tidak jauh dari pegunungan alpine. Iya banyak mengetahui pegunungan sedangkan Eva iya berasal dari Montpellier ia sekali mengunjungi Bali sebelumnya.

Jadwal yang sudah disusun, peralatan, budget segalanya sudah di rencanakan seminimal mungkin. Ini adalah perjalanan yang tidak main-maian, satu bulan menyusuri keindahan-keindahan di bumi Sulawesi. Sebulan adalah angka yang fantastis bagiku. Mereka memulainnya dari Tenggara yakni kepulauan wakatobi, lalu menuju Selatan ke tanah Toraja dan yang terakhir adalah Sulawesi Utara. Sungguh perjalaan panjang yang melelahkan.

hari ini aku terbangun dipagi yang hening dengan beberapa kisah perjalanan, keluar masuk didalam ingatanku. Beberapa bulan yang lalu Anne dan Eva kembali ke tanah airnya, bumi belahan lain di benua Eropa. 3 tahun silam adalah kehidupan yang penuh dengan perjalanan, aku baru menyadarinya pagi ini, begitu romantisnya kehidupan di tahun itu dan sekarang segalanya tertinggal di dalam ingatan dan beberapa dokumentasi yang masi tersimpan rapih.

Pagi itu tepat dibulan mei, hujan masi sesekali mengguyur kota daeng, kota yang kami cintai. Kota yang tidak pernah mati, hiruk pikuk kendaraan masih memadati jalan-jalan didepan sana. aku tidak memperdulikan arah dan tujuan para pengendara yang tiada habisnya itu. Di tempat ini kami hanya duduk menghadap langit, sesekali meneguk kopi dan berharap cuaca segera membaik. Tas-tas sudah kami packing, segalanya sudah dipersiapkan yang tersisa hanyalah restu dari Sang Pencipta. semoga Semesta merestui.

Sejatinya ini adalah expedisi dari 3 orang angota baru SAR dan di damping 2 orang seniornya. Aku mengambil bagian sebagai seorang partisipan. Ah aku ganti, sebaiknya aku adalah seorang penikmat. Perjalanan ini mungkin saja seminggu atau lebih, yang pastinya kami akan melalui rute yang panjang, mungkin saja akan bertenda ditempat-tempat yang tak terduga. apapun itu perjalanan selalu menyuguhkan kejutan-kejutan yang tak terduga dan kami wajib menerimanya.

Hari itu langit masih mendung, gumpalan awan hitam dan tebal masih menghiasi kota daeng. Kami berjalan kaki menyusuri lorong-lorong kota hingga ke jalan raya. Di depan sana di punggung jalan yang padat kami menunggu tumpangan. Kami memulai perjalanan dari kampus Unhas salah satu kampus negeri terbesar dikawasan Indonesia bagian timur. Lalu berhenti dipertigaan jalan Sultan Alaudin untuk mencari tumpanagan berikutnya menuju Kabupaten Gowa. Hingga akhirnya sampai dibawah kaki gunung Lompo Battang, atap kedua Sulawesi setelah Rante Mario. 

Kami sampai tepat tengah malam, hawa pegunungan dan ketinggian mulai kami rasakan efeknya saat kami menjejakkan langkah menuju base camp. Dan sebagaimana malam kami gunakan untuk beristrahat. Perjalanan yang begitu panjang, desa terakhir di kaki gunung lompo battang secara geografis masih dalam kawasan Kabupaten Gowa, yang merupakan daerah Taman Nasional Lompobattang yang didalamnya pegunungan-pegunungan, lembah hingga danau-danau, sungguh keindahan yang tiada habisnya.

Lagi kami terlelap diselimuti hawa malam yang dingin. Begitulah dibandingkan lembah disini lebih dingin dan aku sangat mencintainya. Keesokan harinya seperti biasa gumpalan-gumpalan awan hitam masih menghiasi langit. tas-tas kembali kami rapikan, ini mungkin saja perjalanan yang paling panjang. Lalu kopi. Kami tidak perlu barista yang handal, menikmati kopi dibawah kaki gunung seperti ini memang tidak terkalahkan oleh mahkluk apapun.

                                                                  (Doc Pribadi)

Lalu, tak lupa untuk memanjatkan doa-doa suci, puja puji pada Sang Maha Pencipta, untuk hari-hari yang masih panjang, untuk langkah-langkah kecil yang masih teratur untuk segalanya yang baik. Hari yang tidak cerah sama sekali namun tetap saja semesta mengizinkan untuk melangkahkan kaki. Menapaki jalan-jalan berbatu hingga akhirnya berbelok arah memasuki rimba pegunungan. Daun-daun masih lembab, begitu juga akar-akar pohon, dan kami tetap melangkah.

Biar kuperkenalkan sedikit tentang pegunungan lompobattang sebelum kami melangkahkan kaki lebih jauh. Gunung ini terletak di kabupaten gowa Sulawesi selatan, gunung ini berdekatan dengan gunung bawakaraeng, suhu minimum di gunung ini sekitar 17 derajat   hingga maksimum 25 derajat. Gunung ini merupakan gunung  api tidak aktif. Gunung ini merupakan objek pendakian seperti halnya gunung bawakaraeng dan juga sasaran penganut singkritisme yang melakukan ibadah haji dipuncak gunung ini pada musim haji zulhijjah. Dari puncak gunung lompobattang kita dapat melihat puncak gunung bawakaraeng (Sumber Wikipedia).

Lompobattang memiliki tiga belas pos atau camp. Lalu didepan sana adalah pos pertama. Ini adalah langkah pertama menjejaki ketinggian duah ribuan dan tak ada alasan untuk mundur selangkahpun. Sejatinya perjalanan ini bertujuan untuk expedisi jadi sewaktu-waktu kami mengambil data dibeberapa pos. data yang diambil seperti kemiringan lereng, tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh disekitar pegunungan, ketersediaan air. Sekedar informasi ketersediaan air sangat minim di pegunungan ini.
                                                                   (Doc Pribadi)

Pos dua adalah sumber air pertama, air yang jernih dan sangat melimpah. Masi ada sebelas pos dan beberapa titik air yang minim. Tas-tas yang sudah terisi penuh kami paksakan dengan memasukan beberapa air. Air adalah sumber kehidupan. Lalu tak ada alasan untuk apapun jika ingin bertahan hidup di tengah-tengah kesunyian gunung. Perjalanan mungkin akan sangat panjang dengan pengambilan beberapa data. Lalu sebijaknya waktu diminimalisirkan dengan ketersediaan makanan yang kami bawa. Aku tidak ingin melebih-lebihkan namun percayalah hidup sangat lebih berarti. Tidak ada yang lebih berarti selain nafas yang masih terjaga. Langkah kaki yang berat menapaki punggung pegunungan. Dan segalanya yang terjaga adalah apa yang semestinya kita jaga. 

Sore itu kami bertenda di pos lima, dua tenda kami bangun saling berhadapan. Seperti dugaan perjalanan ini memang penuh kejutan. Tidak ada sumber air di pos lima, lalu tempat yang tidak begitu luas namun beberapa pepohonan sudah sangat cukup melindungi kami. Lalu dimulailah prosesi paling sakral dalam kehidupan, makan malam di ketinggian 2412 Mdpl. Makan adalah hal paling penting, disitulah suplay energi untuk tubuh. Kita tetap harus terjaga karena perjalanan menapaki punggung pegunungan masih sangat panjang. 
                                                                  (Doc Pribadi)

Dari sini jalan-jalan menuju puncak pegunungan semakin menanjak. Kami sudah mulai beradaptasi pada ketinggian. Namun langkah kaki tidak sekuat kemarin. Hari itu masih saja cuaca berkabut. Seharian berjalan di temani kabut-kabut yang dingin. Sesekali berhenti untuk mengatur nafas. Tas-tas yang dipungung masih saja seperti itu. Terasa berat. Tidak ada alasan untuk mengeluh karena kindahan adalah obat dari segala keluh kesah. Disini segalanya berbeda. Tak ada keluh kesah segalanya adalah keindahan-keindahan yang terlukis nyata. Aku tidak pernah membayangkannya.


                                                                  (Doc Pribadi)

Pos tujuh adalah tebing. Lalu menurun tajam. Belum berakhir sampai disitu. Lalu pos delapan hingga kepos sembilan adalah tanjakan tanpa ampun. Akhirnya kami bertendah disore hari yang sepih lagi penuh dengan kabut di pos sembilan. Hanya cukup untuk mungkin empat tenda. Dua tenda kami dirikan lagi saling berhadapan. Tenda yang berhadapan langsung dengan mulut tebing dan dibelakangnya adalah dinding besar yang melindungi tenda-tenda kami.
                                                                 (Doc Pribadi)

Sore itu aku menyempatkan mendaki ke pos sepuluh 2868 Mdpl. Biasanya jika mendaki di gunung lompobattang pos terakhir adalah pos sepuluh. Namun jika melanjutkan pendakina hingga ke bawakaraeng atau ke bulu baria pos terakhir adalah pos dua belas. Cukup khusyu aku menikmati keindahan dari titik paling tinggi. Dibawah sana terlukis garis cakrawala. Hamparan yang tak sanggup dilihat oleh kedua mata mungkin saja berujung atau tidak berujung. Lalu beberapa lampu-lampu pedesaan hingga perkotaan mulai dinyalakan. Senja yang cukup melelahkan namun aku puas.

Rute Lompobattang

Dari kota Makassar kita berkendara, bisa menggunakan roda dua atau transportasi umum semisal Pete-Pete rute Sultan Alauddin lalu mencari angkutan umum rute Kab. Gowa dan mencari angkutan umum tujuan Malakaji. desa terakhir jalur pendakian adalah Dusun Lembang Bune dikelurahan Cikoro, Kecamatan Tompobulu Kab. Gowa.



                                                               (Sumber Google)
 
Gunung lompobattang Memiliki ketinggian 2868 Mdpl, terdapat tiga titik air saja yakni pada Pos 1, ke 2 dan terakhir pada pos 9. rute pendakiannya hampir sama dengan Gunung Bawahkaraeng, jalur yang kadang-kadang rata dan kadang-kadang menanjak atau menurun tajam. kondisi medan selalu lembab dan banyak dipenuhi akar-akar kayu.

-Bersambung-






 

Tidak ada komentar:

Popular