(Photo Google.com)
***
Pagi yang
damai. Segala puja puji dipagi yang buta. Kami bukanlah para pejuang subuh
seperti halnya yang disuarakan oleh kaum fanatik. Biarlah kami hanya menjadi
hamba saja. Itu saja sudah cukup selama jiwa dan raga tetap setiap kepadamu
yang Maha Esa. Seperti halnya takdir yang telah digoreskan oleh tinta Ilahi. Kami
hamba yang selalu tunduk, kami memuji sepanjang hari, sepanjang hayat, karena
kami hanyalah umat terlemah dihamparan permukaan bumi.
Pagi adalah
waktu yang paling sakral, membuka jendala menyaksikan segala yang masih
bernafas, kepunyaanNya segala sesuatu termaksud nafas-nafas yang masih terjaga
dipagi buta. Pagi yang begitu terik membakar semangat para buruh-buruh pabrik
berlalu lalang dijalan-jalan takdir, sepertinya sudah tertulis didalam
barisan-barisan takdir selamanya. Pagi yang sangat istimewa, saya hanya menjadi
saksi kehidupan, menyaksikan kalian sambil menyeruput kopi pahit tanpa gula
sebutirpun.
Menyeruput kopi
serupa meruntuhkan semua keluh kesah didada, semuanya terhambur pada pekatnya
kopi. Hari ini adalah hari pahlawan, begitupun tidak kubiarkan sebutir gula
menjadi pahlawan menjadi rasa pahit menjadi sedikit kemanis-manisan, hingga
memperbaiki suasana hari yang lalu-lalu hingga kini. Biarlah segalanya
terhambur dengan segala kepahitan kopi. Biarlah yang lalu berlalu, mengenang
pahlawan sama halnya memutar roda waktu, setiap orang punya masanya.
Terberkatilah para pahlawanku, yang baik kukenang yang baik-baik semestinya
kami lanjutkan.
Pada hari
yang sakral ini lagi saya membatin masih meyakini bangsa kita bangsa ini memang
masilah bangsa buruh. Sejarah telah memastikan kemerdekaan namun sekarang
apalah artinya kemerdekaan yang hakiki.?. Terimaksih telah mengantarkan kami
kegerbang kemerdekaan, tujuan kalian tercapai namun saya yakin mimpi kalian
akan bangsa ini pastilah belum tercapai sama sekali. Saya melihat mimpi-mimpi usang
dikoar-koarkan dari generasi-kegenerasi namun beginilah kepahitan dari sebuah
kenyataan, tetap saja kita hanyalah Negara yang berkembang dan ragu-ragu untuk
mekar.
Kita tinggal
serumah didalam rumah yang ramai dan saling mengetahui kebusukan masing-masing.
Kita diam kala bertatap muka dan saling membicarakan dibelakang badan. Biarlah begini
saja, toh kami berada dibarisan paling terbelakang dinegeri Ibu Pertiwi ini. Kepahitan
aka diskriminasi telah lama kami telan bahkan sebulum menangis pertama kali
dibumi pertiwi. Menikmati kemerdekaan bagaikan menyeruput kopi pahit dipagi
buta, begitulah makna-makna tersirat dari kaum-kaum dibangku belakang.
Sudahlah
lupakan saja. Kian lama dipikirkan jadinya semakin pahit. Kalian yang setara
dengan dewa-dewa duduklah dikursi-kursi empuk itu, nikmatilah ruangan-ruangan
sejukmu, minumlah minuman-minuman manis seperti selerahmu sesukamu, makanlah makanan-makanan
mewah. maka buncitlah perutmu dari kerja-kerja segelintir orang yang kau
perlihatkan kepalsuan harapan duniawi. Begitulah system kapitalisme bekerja dan
kita sepakat untuk tidak menyukainya. Ah, tidak kalian pura-pura tidak
menyukainya.
Dari
desa-desa ditengah bumi Sulawesi kalian menutup mata dengan segala yang telah
kalian rencanakan atas megahnya tembok-tembok pabrik China..? biar ku kutip
seorang Pahlawan berkata ia adalah Tan Malaka “Tuan Rumah Tidak Akan Berunding Dengan Maling Yang Menjarah Rumahnya”.
Kenyataanya pesan seorang pahlawan yang tak tersampaikan bukan. Diera Demokrasi
yang penuh dengan teori kebebasan ini, seharusnya kita tidak sebebas itu sampai
harus menelanjangi Ibu Pertiwi.
cukup,
maafkan dosa kami Ibu Pertiwi.
Muh. Fajri salam
10-november-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar