Selamat tinggal desember



Traveling Part 6
"Desember Megah"


(TEAM)

***
Tiga puluh desember, waktu perlahan berlalu, semenit terasa lama, juga jam dinding usang warisan itu seakan tidak bergerak, waktu membeku dititik-titik kritis. Sebentar lagi dua ribu limabelas masehi berganti menjadi duaribu enambelas masehi. seremonial kembang api bagaikan ilmu pasti yang menghiasi langit-langit gelap alam semesta. Dan penghujung masehi dua ribu limabelas yang berakhir klimaks ditanah toraja.

Siapa yang tidak mengenal tanah toraja, adat yang masih dipegang teguh seperti rumah-rumah adat yang memiliki makna spiritualis masing-masing. Pagi itu baru saja matahari terbit diufuk timur bumi, penanda kehidupan masih tetap berlanjut, akun facebooku masih aktif, seperti biasa seorang insomnia harus menemukan moment paling melelahkan untuk berganti alam bawah sadar. Chat seorang teman mengawali langkah pagi itu, delapan jam menembus jalan menuju tanah toraja.

Tidak berpikir panjang, pakaian kotor yang menunggu antrian, berharap untuk dicuci pagi itu saya abaikan begitu saja, memang panggilan seorang teman kali ini jika dibandingkan dengan panggilan umroh dengan haji jelas tidak ada apa-apanya. Perjalanan delapan jam menyusuri tujuh Kabupaten yakni Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, Sidrap, Endrekang, dan Tanah Toraja bersama dengan tujuh orang teman perjalanan, sungguh angka yang mistis dan klasik. Hari yang panjang untuk sebuah cerita diakhir masehi.

Seperti perayaan-perayaan pada umumnya, acara akhir tahun masehi selalu ramai, tak terkecuali Tanah Toraja yang menjadikanya sebagai acara rutin setiap pergantian tahun masehi. angka miliaran selalu terbakar habis di langit toraja.  Bagaikan pemenuh dahaga ditengah gurun tandus, bagi mereka tidak lengkap rasanya mengakhiri desember dengan perayaan. Toraja yang tidak pernah sungkan dengan perayaan, seperti halnya upacara kematianya yang megah.

Malam itu kami menginap di Kabupaten Endrekang, kota yang dipenuhi pegunungan, atap-atap Sulawesi. Rumah seorang kawan. Rumah yang menjadi tempat untuk meluruskan badan. Endrekang kala itu belum sepopuler sekarang, Endrekang yang sekarang dengan destinasi wisata adventure yang memicu adrenalin yang membumi, dan juga landscape pegunungan-pegunungan menjadi wajah baru parawisata Endrekang. Kala itu kami hanya mengunjungi hutan kota dan juga wisata air terjun yang sampai sekarang belum saya ketahui namanya. Dan malam itu diatas atap-atap Sulawesi kami terjaga.

***
Pagi terakhir ditahun duaribu limabelas masehi, kami masih di Endrekang. Pagi itu kami bersiap-siap melanjutkan kembali sisa perjalanan yang sempat terpotong. Sedikit diskusi perjalanan sembari menyantap sarapan pagi yang telah disediakan tuan rumah. Kami tidak menemukan titik terang untuk menginap ditanah toraja, alhasil jadilah kami bacpecker dadakan, atau musafir dalam setahun perjalanan melintasi waktu yang penuh dengan gemerlap api warna-warni dibulan desember. Pagi itu kami memilih beberapa tempat yang wajib kami kunjungi di Tanah Toraja.

Mengunjungi semua destinasi wisata Tanah Toraja adalah sesuatu yang hampir mustahil. Toraja yang merupakan surga wisata spiritualisme, adat budaya, hingga wisata adventure yang menguji nyali pengunjung. Kami memilih Rantepao dan Makale sebagai tempat berlabuh. Hari itu kami menyusuri jalan-jalan yang sempat terpotong. Tanjakan dan jalan berbelok-belok menemani kami berjam-jam. Hingga akhirnya gapura Tanah Toraja menyambut. Gapura yang sungguh megah seperti halnya adat Tanah Toraja yang megah. Maka mulailah kami selami Tanah Toraja di penghujung desember.

Sejatinya perjalanan ini hanya sekedar berbasa-basi belaka dipenghujung tahun masehi. tahun baru, semua orang berhak sesukanya merayakan atau tidak merayakannya terlepas dari kontrofersi fatwanya. Faktanya masyarakat kita memilih toleran dan juga merayakan. Masyarakat kita memilih bersenang-senang diakhir tahun, sekecil apapun bentuk kesenangan itu. Mayoritas Negara-negara didunia juga memegahkan desember dengan tahun barunya, terlepas dari budaya manapun itu kita berhak untuk bersenang-senang ditengah kemuraman kehidupan bangsa.

Antusiasme wisatawan melonjak membanjiri tanah toraja, wisma hingga hotel kabarnya sudah habis diboking hari itu. Warga lokal juga mancanegara sudah memenuhi objek-objek vital parawisata tanah toraja. Tidak mau kalah dengan wisatawan mancanegara, wisatawan local seperti kami juga sudah siap menjelajahi sedikitnya walaupun tidak semua tempat bisa kami kunjungi. Petikesu, Londa dan juga menikmati pesta kembang api adalah menu utama hari itu. Petikesu dan Londa merupakan tempat mistis dan spiritual di Tanah Toraja. Tempat ini sebenarnya adalah makam para pesohor Tanah Toraja yang dikebumikan di tebing bebatuan paling atas berdasarkan marganya masing-masing, itu merupakan adat kepercayaan masyarakat toraja perihal kematian. Disekitarnya terdapat rumah-rumah adat yang megah yang merupakan tempat peristirahatan mereka beberap hari setelah kematiannya sebelum dikebumikan. Masyarakat Tanah Toraja meyakini kehidupan yang sesungguhnya setelah kematiannya.

Kematian adalah kemutlakan atau keniscayaan yang pasti menjumpai. Semua agama mempercayai kematian dengan pandangannya masing-masing, terlepas atas logika agama yang kita anut. Kita mempercayaai keidupan yang tiada akhir. Kematian kita percayai sebagai jembatan yang menghubungkan kedunia yang baru meninggalkan dunia materi. Masyarakat Tanah Toraja menyiapkan kehidupanya untuk upacara kenatiannya yang megah. Dan kita menyiapkan bekal untuk perjalanan baru dikehidupan baru kelak. Saya memahami perjalanan tidak sebatas dunia materi saja, perjalan ini tidak berhujung, setelah melintasi dunia materi kita diajak menjelajahi dunia spiritual, kita selalu berjalan kemanapun itu.

Hari itu kehidupan berjalan melambat, saya tidak bisa menghitung makam hingga penghuninya di Petikesu, saya tidak bisa menghitung debu-debu raga manusia yang tinggal menyisahkan kerangka. Kerangka- kerangka manusia tidak semengerikan seperti di film horor. Apa yang saya lihat hari itu adalah gambaran raga ini jika kelak saatnya menjumpai. Sebuah kebanggaam mengunjungi peti kesu, kunjungan ini merefleksi kehidupan masalalu juga pandangan masa depan kita sebagai mahluk yang bernyawa. Sebaiknya kita harus menyadari kematian bisa saja datang seperti halnya saat kita menghitung mundur waktu-waktu yang berlalu, seperti halnya pergantian tahun yang membunuh tanuh sebelumnya.
Londa menjadi kunjungan berikutnya, berwisata ke Londa juga memberi nuansa spiritual, ibarat berjiarah dimakam para tetuah dan pesohor. Tentunya makam-makam dan rumah-rumah gadang ini merupakan tempat orang-orang yang dihormati yang memiliki marga atas dikelas masyarakat Tanah Toraja. Di beberapa sudut objek wisata Londa kita bisa menemukan butik juga kerajinan-kerajinan masyarakat tanah toraja. Dari sudut lain di wilayah Sulawesi Selatan ini kita bisa melihat begitu kayanya negeri nusantara ini.

***
Langit perlahan meredup, hari yang panjang di Tanah Toraja tidak cukup dijelajahi setahun dalam hari pergantian tahun. Malam itu kami hanya menyusuri jalan perkotaan Rantepao, beberapa kali berhenti ditengah keramaian. Masyarakat Tanah Toraja terkenal santun dalam acara-acara perayaan. Perayaan adalah beberapa bagian kehidupan yang disakralkan ditempat ini, tidak heran beberapa masyaraakat local meminta kita untuk singgah sekedar berbaur dengan perayaan-perayaanya walaupun sederhana. Lalu Rantepao kami tinggalkan menuju Makale.

Seperti backpacker pada umumnya, kami menyiapkan perlengkapan yang menunjang untuk menu makan malam. Kompor gas, nesting dan lain-lain sudah siap menunggu koki malam ini. Walaupun mayoritas masyarakat Tanah Toraja beragama Kristen namun kita bisa menemukan beberapa mushola minoritas muslim dengan mudah di Makale ataupun Rantepao. Ini menunjukan tolerannya masyarakat Tanah Toraja perihal kehidupan beragama. Mushola kami jadikan tempat ibadah sekaligus tempat istirahat sementara di Makale malam itu menunggu detik-detik pergantian tahun masehi. mushola yang strategis tidak jauh dari pusat pesta kembang api malam itu.

Basa basi ini akhirnya menggapai puncaknya, pergantian tahun yang di rayakan dengan pesta pora. Pesta kembang api yang meriah sesuai harganya yang  milyaran. Perayaan yang antiklimaks setelahnya adalah kenangan yang menjadi abu bertabur didalam hati. Orang lain mengenang gemerlap yang mulai sepi dilangit yang mememuram setelah bertubi-tubi diterjang ledakan kembang api. Saya tidak lepas mengenang hawa kematian dari makam-makam para pesohor. Kita bebas juga wajib mengucapkan Sumpah-sumpah  juga resolusi di tahun yang baru namun jangan sampai sumpah juga resolusi itu terbakar habis di awal tahun bersama nyala kembang api.

Duaribu enambelas, angka enam belas, angka yang saya sakralkan juga tahun yang merefleksi kehidupan dengan beberapa perjalanan sebelumnya. Tahun baru yang mengubah pandangan kehidupan setelahnya, masa depan merupakan rahasia Ilahi  yang tidak terbantahkan, namun tidak berarti bertidak kaku dijalan yang tepat.  Takdir yang membuatmu kaku hanyalah kematian karena disemua jalan ia menghampiri tanpa memeperdulikan pakaian yang kau kenakan hari itu. Malam itu jalan pulang terasa lama, saya menatap jalan-jalan yang mulai sunyi dengan kesadaran baru setelah berjiarah di Tanah Toraja. Saya harus menamainya perjalanan spiritual dan mengenang desember sebagai bulan sacral, dan selamat tinggal untuk desember yang megah.

Catatan Bulan desember megah
Morowali 31-12-2017
Muh. Fajri Salam


Tidak ada komentar:

Popular