SIAL MASA CUTI USAI



THIS ABOUT MY MOM


Hari ini hari terakhir masa cutiku. 12 hari sengaja saya habiskan bersama ibu dirumah. Ini pertemuan kesekian ribu kalinya bersama ibu. Saya memang selalu meninggalkanya entah itu seperti dahulu kala saat merantau untuk mencari ilmu, dan sekarang saya harus pergi lagi untuk mempertaruhkan karir, juga harapan dikehidupan yang fana ini. Perpisahan merupakan hal yang lumrah dikeluarga ini, entah saya yang pergi atau mereka yang pergi.

Saya menemui ibu di sebuah kota kecil di Kerajaan Buton. Ibu sudah sepuluh bulan disana menghabiskan waktu menemani nenek yang kami cintai. Sudah tiga tahun nenek sakit-sakitan terkulai lemas di kasur malasnya atau dikursi rodanya. Aktivitas fisik nenek hanya duduk dan tidur saya sangat sedih melihatnya badanya kegemukan, lemak dari makanannya menimbun tak pernah dibakar. Nenekku yang bebas kemana-mana dahulu kini kehilangan kebebasanya.

Ibu menjaga nenek dengan ikhlas. Ibu sudah yatim piatu dua tahun lalu. Lalu nenek adalah yang terakhir sekarang yang ibu dan ayah miliki, juga yang kami semua miliki. Keluarga kami tercerai berai, saya yang harus mewujudkan mimpiku akhirnya menemukan batu loncatan pertama di Morowali, kedua kakakku juga sama memulai karir di dua sudut 180 derajat, terpisah antara Makassar dan Wakatobi, kedua adikku juga sama sekolah di tempat dan kota yang berbeda, juga ayah yang hilir mudik menunaikan tugasnya sebagai Pegawai Negeri, tinggallah ibu dirumah menjaga yang paling berharga di keluarga kami.

Saya menghabiskan 12 hariku menemani ibu. Ibu memang tidak suka keluar rumah keluar jalan-jalan ke toko atau tempat perbelanjaan lain yang lebih mewah seperti plaza seperti ibu-ibu gaul di era moderen ini. Tidak ibu lebih senang dirumah kontras dengan saya yang lebih suka berpetualang kemana-mana, namun didekat ibu saya selalu memilih berdiam memerhatikanya, petualanganku lebih menantang didekat ibu, saya akan memerhatikanya memasak, membersihkan rumah, menonton film india di Tv, dan menahan hawa nafsu meminum kopi, ah kenapa juga ibu harus melarangku minum kopi walaupun aturan itu hanya berlaku jika bersama ibu.

Ah saya khawatir ibu sakit-sakitan kemarin. Ia habis jatuh di kamar mandi kini tulang rusuknya yang bengkok nyaris saja mengenai hati. Belum lagi sakitnya yang dulu gara-gara terpeleset tulang pinggangnya juga bermasalah, lalu beberapa minggu yang lalu jatuh lagi ketika hendak menjenguk nenek. Saya khawatir ibu beberapa kali jatuh, memang ia masih nampak sangat kuat, tapi kini ia juga harus terpaksa mengkonsumsi obat resep dari dokter tulang.

Masa cutiku habis, saya harus kembali bekerja, berjibaku pada dunia yang akhirnya saya mulai membencinya. Perusahaan ini, menganut kapitalisme, mereka yang kaya tersenyum sambil menginjak leher para buruh pabrik, sayangnya para buruk malah senang. Saya harus mengakui system ini bobrok, tidak adil, tidak manusiawi, tapi sayangnya saya hanya bisa berkeluh kesah, saya sangat membencinya. Saya harus pulang menyusuri jalan-jalan hampa itu.

Saya yang pulang dengan kekhawatiran terhadap ibu malah ibu bersikap serupa. ibu yang khawatir menasehati untuk berhati-hati, musim hujan yang tidak bersahabat pada aspal membasahinya hingga membuat jalan-jalan menjadi licin. Ibu masih saja menasehati agar tidak jatuh sedangkan saya sangat khawatir karna ibu beberapa kali jatuh, saya mengangguk saja dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran dan kesedihan.

Pada akhirnya saya harus kembali bekerja, batu loncataan ini belum kuat menumpu kaki untuk melompat ketempat yang lebih tinggi. Saya tidak mengharapkan lagi perusahaan ini menjadi sandaran untuk waktu yang lama, sistemnya betul-betul membuat hatiku terbakar, saya tidak menerima system kapitalisme itu.sialnya saya harus menempuh 300 KM untuk sampai di Morowali, ibu pasti kwatir karna tempat kerjaku kejauhan.

Saya menembus jalan-jalan hampa dengan nasehat ibu. Ibu yang saya sangat cintai masih khawatir pada anaknya ini. Ah hatiku kembali panas padahal sekarang udara mulai membeku di selimuti derasnya hujan menghatam saya yang membelah udara. Kembali saya ratapi jalan-jalan panjang ini dengan kecewa saya harus mengakui pekerjaan ini masih menyisahkan rasa khawatir di hati ibu. Saya bukanya membuatnya senang bahwa anaknya kini dewasa dan hendak pergi kerja malah sebaliknya, saya harus menelan pil kekecewaan ini sepanjang jalan.

Irama hujan yang menghujam aspal-aspal ini membawa saya kesuara nasehat ibu yang khawatir akan hujan dan jalan-jalan yang akan saya lalui. Kembali lagi semangatku panas, saya mengingat resolusi perjuangan yang saya tulis awal bulan kemarin, kembali lagi pikiranku berat tidak kurasakan lagi beratnya helem full face ini. Saya masihvbelum membahagiakan ibu, saya kira akan gampang membuat ibu bahagia namun saya harus mengakui semua tindakanku malah semakin membuatnya khawatir.

Saya mengingat kenangan, betapa gampangnya saya katakan kelak akan saya bahagiakan ibuku. Seseorang entah siapa dalam bayangan itu bertanya kenapa hendak kamu akan bahagiakan ibumu.? Saya kembali menjawabnya dengan gaya remeh temeh itu, siapa lagi yang saya cintai selai ibuku, saya hanya berpisah karna hendak sekolah sejauh ini, jika bersamanya saya tidak akan kemana-mana selain duduk disamping orang yang saya cintai, tidak kah kau lihat bahwa semua gerak gerik itu adalah kecintaanku jawabku saat itu.

Namun kini saya tau itu bukan harapan yang mudah. Dari miliaran ibu didunia mungkin hanya beberapa orang yang akhirnya bahagia atau dibahagiakan anaknya. Iya saya menyadarinya kini, cinta ibu lebih besar dibanding cintaku, bisa saja cintaku besar namun cinta ibu lebih besar lagi. Bisa saja saya mengkhawatirkan ibu namun ibu lebih dan lebih lagi khawatirnya terhadapku. Maka sudahlah saya harus lebih giat lagi berjuang karna ibu belum bahagia sepenuhnya.

Muh. Fajri Salam
2018/01/21
Morowali


Tidak ada komentar:

Popular